Fenomena Anak Muda Yang Bekerja di Kapal Pesiar Dalam Era Globalisasi Sebagai Bagian Dari Masyarakat Resiko

Argyo Demartoto

Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kandidat Doktor Soiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


ABSTRACT

In this globalization age, many risks are encountered by the society including in Indonesia, particularly in manpower sector. For that reason there is a distinct way by which the society can survive by changing their life pattern and job that is an orientation shift in occupation sector. It can be seen from the phenomena of many youngsters work in the cruiser with no longer national but international capacity. Working aboard the cruiser has many advantages, in addition to material advantage namely to get money in dollar, also the capability of visiting the destinations throughout world where the cruiser will stop by and anchor. Every job has risk, working aboard as cruiser does not always get advantage, since many risks occur to the cruiser. The risk of youngsters who work in navigation sector includes the social risk. For example, when their original culture formerly emphasizes on the sincerity (expect no reward) in estab­lishing relation to others, changes into emphasizes on certain interest in establishing relation 😮 others. Therefore, there should be an attempt to control and to minimize the risk potentially created such as the capability of adaptation to a variety of people with different countries, ethnics, cultures and languages

 

Kata Kunci: anak muda, bekerja, kapal pesiar, masyarakat resiko

 

Pendahuluan

Globalisasi membawa sebuah situasi baru yaitu: polarisasi dan stratifikasi penduduk dunia dalam globalitas kaum kaya dan lokalitas kaum miskin. Polarisasi tersebut dibarengi pula oleh adanya situasi dunia kehidupan yang terfragmentasi. Penyebabnya adalah tidak hanya akibat dari pergeseran dari sektor produksi menuju sektor konsumsi, namun lebih dahsyat lagi

 

 

 

 

adalah terjadinya konsekuensi penalaran modemitas1

Modernitas awalnya lahir sebagai kritik atas segala bentuk otoritas di luar rasio. Modernitas datang mengusik kesadaran kita dari tidur dogmatisme pemikiran. Modernitas didunia ini hampir terjadi disemuabidang. Kecanggihan, kepraktisan dan keinginan lain dari konsumen dapat berkembang dengan cepat. Seiring dengan adanya modernitas, teknologi juga sangat

 

 

 

[1] Mike Featherstone dan Scott Lash (eds). Space of Culture: City, Nation and World. (London: Sage 1999)

 

berkembang dengan pesat demi menunjang modernitas dalam aktivitas dan gengsi manusia. Pengembangan teknologi ini sangat memerlukan dana. Modernitas merupakan kebudayaan resiko. Konsep resiko menjadi fundamental bagi cara aktor awam dan para spesialis teknik dalam menata dunia sosial. Modernitas mereduksi seluruh resiko wilayah-wilayah dan cara hidup tertentu, namun pada saat y ang sama memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagianbesar atau sama sekali tidak dikenal pada era sebelumnya2.

Masyarakat modern saat ini banyak menghadapi problem yang sangat serius yaitu alienasi. Alienasi merupakan suatu penyakit kejiwaan dimana seseorang tidak lagi merasa memiliki dirinya sendiri sebagai pusat dunianya, melainkan terenggut dalam mekanisme yang sudah tidak lagi mampu untuk dikendalikan. Spirit modernitas yang menyertai proses globalisasi sangat menghantam dunia kehidupan warga masyarakat. Masyarakat dalam negara-negara berkembang mengalami goncangan-goncangan luar biasa pada tatanan sosialnya. Akibatnya sistem komunikasi sosial masyarakat pada situasi yang jelas dan pula semakin hilangnya kepercayaan, instirusional dan individual3. Dalam suatu masyarakat modern pasti akan timbul suatu resiko-resiko sosial yang akan mempengaruhi kehidupan sosial dalam masyarakat. Masyarakat modern saat ini memasuki babak baru dalam modernitas lanjut, yaitu formasi sosial yang terbentuk mengalami transformasi menuju formasi sosial masyarakat resiko (risk society). Masyarakat resiko adalah masyarakat yang seluruh sendi kehidupannya dibangun

 

 

diatas kesadaran akan resiko4.

Di era globalisasi ini banyak resiko yang dihadapi oleh masyarakat termasuk di In­donesia. Dalam masyarakat padat penduduk seperti di pulau Jawa semisal di bidang ketenagakerjaan dimana banyak lapangan pekerjaan yang dibuka oleh pemerintah maupun pihak swasta tetapi persaingan menjadi kendala utama dalam perolehan pekerjaan5. Maka dari itu ada cara tersendiri yang dilakukan oleh masy araka: untuk dapat memenuhi kelangsungar. hidupnya. Dalam hal ini ada salah satu cara bagaimana masyarakat mengubah pola kehidupannya melalui pekerjaan yang mereka punya artinya muncul pergeseran orientasi dalam bidang pekerjaan. Hal iru dapat dilihat pada fenomena banyaknya anak muda yang bekerja di kapal pesiar yang kapasitasnya bukan lagi nasional melainkan internasional. Kapal pesiar saa: ini sedang menjadi booming dunia. Ratusar perusahaan pelayaran kini mengoperasikar kapal pesiar. Menurut data, hampir 25-1 perusahaan pelayaran mengoperasikar. kapal pesiar. Dewasa ini ada empa: perusahaan kapal pesiar yang menguasai 90% pasar paket pesiar dunia yakni: Carnival Corporation atau Holland America Line (HAL), Royal Carribean Cruises Limited, Star Cruises, dan P & O Princess.

Sebuah perusahaan pelayaran sangat dimungkinkan mengoperasikan / mempunyai beberapa buah Kapal Pesiar. Sebagai contoh: Holland America Line mempunya: 14 kapal pesiar, dengan rata-rata setiar kapalnya mempunyai crew 600 hingga 10CC orang. Royal Caribbean Cruise Lini mempunyai 13 kapal pesiar. Lalu ada Prin­cess, P & 0, Costa, Celebrity, Royal Star dan.

 

 

 

2Giddens, Anthony,The Consequences of Modernity  (Stanford, CA ; Stanford University Press,1990)

3Arjun Appadurai,. “Globule Landschaften” Ulrich Beck (ed) Perspectiven der Weltgesellschaft, Franfurt am Main Suhrkamp ,1998

4, Ulrich Beck. Risk Society : Towards A New Modernity.( London ; Sage Publications, 1992)

5Argyo Demartoto. Mosaik Dalam Sosiologi. (Surakarta. UNS Press,2007).

 

lain-lain. Kapal-kapal pesiar baru sedang dibangun dengan tonnase yang besar, sehingga kebutuhan akan tenaga kerjapun akan terus berkembang. Puluhan perusahaan telah memakai tenaga kerja In­donesia. Holland America Line telah memakai tenaga kerja Indonesia sejak 1969. Perusahaan ini sedang membangun beberapa kapal pesiar baru.

Kapal pesiar erat kaitannya dengan bidang kepariwisataan. Amerika, Australia dan Jepang termasuk negara yang membutuhkan banyak tenaga kerja dari Indonesia bidang jasa pariwisata dan tenaga kerja di kapal-kapal pesiar. Tenaga kerja Indonesia dikenal sebagai tenaga kerja handal di perusahaan pelayaran dunia. Permintaan tenaga kerja untuk kapal pesiar internasional cukup tinggi mencapai 50.000 orang. Tenaga kerja yang terdidik dan terampil dari Indonesia selama ini mendapat prioritas utama bekerja di kapal pesiar internasional dibanding negara lain. Karena keramahan dan dedikasinya yang tinggi terhadap pekerjaan yang diembannya serta perilaku orang Indonesia yang cenderung manut dan tidak suka memberontak6

Staff kapal pesiar terdiri dari dua macam yakni: yang memiliki jabatan relatif bagus, antara lain, Perwira, Kapten, Staff Cruise, Entertainer dan Pekerja Casino serta, yang memiliki jabatan rendah, antara lain, Pekerja Restoran (Dining Rooms), Petugas Kebersihan (Cleaning Rooms), Pekerja Dapur (Galley) dan para pekerja di bawah dek kapal.

Banyaknya anak muda di Indonesia yang bekerja di kapal pesiars ebagai bagian dari masyarakat resiko merupakan fenomena sosiologis yang menarik untuk dikaji. Selain itu pekerjaan di bidang pariwisata dan kapal pesiar merupakan

sumber devisa nomor dua bagi negara sehingga secara tidak langsung seseorang yang bekerja di bidang ini telah ikut membantu pembangunan negara.

 

Tawaran Yang Menggiurkan Untuk Bekerja Di Kapal Pesiar.

Sulitnya mencari pekerjaan dan banyaknya tingkat pengangguran di Indo­nesia membuat sebagian besar penduduk-nya memilih mencari pekerjaan di luar negeri, menjadi TKI, TKW, ataupun tenaga ahli mulai dari yang berkualitas maupun tidak7

Disamping menjadi TKI maupun TKW banyak anak muda kita ataupun orang In­donesia yang lain yang bekerja dalam industri kapal pesiar. Hal tersebut dilakukan karena tawaran pekerjaan atau lowongan yang masih luas terbuka lebar serta penghasilan yang dijanjikan juga cukup tinggi. Sebuah perusahaan kapal pesiar yang berkantor di Bali menerima ratusan pelamar setiap hari untuk bekerja di kapal pesiar dengan latar belakang pendidikan beragam dan tidak hanya dari sekolah khusus pariwisata. Tingginya minat bekerja di kapal pesiar karena tawaran kesejah-teraan yang dinilai menggiurkan. Dengan bekerja di kapal pesiar, orang bisa berkeliling dunia secara gratis, bahkan bisa menghasilkan uang dari kegiatannya itu. Potensi pendapatan pekerja di industri kapal pesiar terhitung tinggi, yakni mulai dari US$600 per bulan hingga US$3,000 per bulan. Untuk level terendah seperti cleaning service, pekerja bisa mendapatkan upah US$566 per bulan di luar uang tambahan dari tarnu kapal. Adapun, asisten manajer restoran memeroleh pendapatan minimal hingga US$3,000 per bulan.

 

 


 

 

 
6 Baum T. (ed). Human Resources Issue in International Tourism. (Oxford: Butterworth Heinermann,1993)

7 Argyo Demartoto. Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender Menyoal TKW Indonesia Yang Akan Dikirim Keluar Negeri. (Surakarta. UNS Press 2009).

 

 

Wakil Kepala Humas Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Budi Wibowo mengakui kecenderungan lulusan sekolah khusus pariwisata bekerja di industri kapal pesiar semakin tinggi. Pada tahun lalu sekitar 40% dari 600 lulusan STP Bandung terserap di sejumlah industri kapal pesiar, atau lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh serapan sektor perhotelan di dalam dan luar negeri yang mencapai 30%. Hal ini berbanding terbalik dengan potensi industri perhotelan di Indonesia sendiri. Potensi pendapatan waitress di industri perhotelan di dalam negeri hanya berkisar Rp 1 juta -Rp 2 juta, atau relatif tidak terlalu jauh dari standar upah minimum regional membuat anak muda (khususnya lulusan perhotelan sendiri) enggan bekerja di Indonesia.

 

Pelatihan Kerja Dan Pendidikan Khusus Untuk Bisa Bekerja Di Kapal Pesiar.

Dalam kondisi masyarakat modern seperti ini, tuntutan karir untuk mencapai tingkat penghidupan yang layak menjadi orientasi tersendiri. Mereka, bertumpu pada pengecukupan kebutuhan primer, dan yang sedang naik daun adalah pemilihan pekerjaan menjadi seorang yangberlayar di cruise ship atau kapal pesiar. Bekerja di kapal pesiar merupakan pilihan pekerjaan yang lagi ngetrend selain menjadi pramugari/ pramugara di sebuah maskapai pener-bangan. Dalam sebuah web yang penulis temui, tagline dan sekolah kapal pesiar sangat propagandis sekali. Betapa tidak, dalam tagline tersebut disebutkan bahwa think globally, learn locally, we prepare your success”. Kita lihat dalam kata-kata terakhir, jelas pekerjaan ini dirasa sangat menjanjikan karena sekolah kapal pesiar tersebut berani menjanjikan untuk menyiapkan kesuksesan. Dan syarat yang mudah untuk menjadi seorang yang

berlayar di sebuah kapal pesiar yaitu orang-orang yang lulusan SMA/SMK/SMIP/DI-PLOMA/S1. Berusia pada tahun 18-30. Usia produktif dimana dalam usia tersebut kita dituntut untuk mencukupi kebutuhan masa depan dan mempersiapkan segala sesuatu agar kehidupan tua kita bagus kelak. Inilah yang menjadikan sebagian masyarakat kita memilih untuk menekuni pekerjaan di kapal pesiar8

Pelatihan atau sekolah kapal pesiar atau sekolah pelayaran menjadi jalan utama yang dipilih masyarakat untuk menjadi lebih baik dalam proses memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu sekolah di Yogyakarta yang bergerak dalam bidang pelatihan kerja untuk kapal pesiar namanya “YOTA BAKTI”. YOTA BAKTI adalah Lembaga Pelatihan Kerja dan Pendidikan khusus mengenai ketrampilan dan pengetahuan untuk bisa bekerja di kapal pesiar (Cruise Ship). Seluruh pengajar/ instruktur adalah mantan crew Holland America Line. YOTA BAKTI bekerja dibawah pengawasan Dinas Tenaga Kerja Bantul Yogyakarta sejak 1995. YOTA BAKTI merupakan kependekan dari Yogyakarta Wisata Bakti. Lulusan YOTA BAKTI yang tercatat mendapat pekerjaan di kapal pesiar sampai akhir Februari 2009 lebih dari 1300 orang. Sekitar 80% bekerja di Holland America Line (HAL). Selebihnya bekerja di Royal Caribbean, Celebrity dan Royal Star, Carnival, Scylla Tours, UniWorld, Feenstra dan P & 0. YOTA BAKTI lebih mengutama-kan praktek, yaitu mengenai rugas sebagai pramugara kapal pesiar (steward). Seorang steward melayani beberapa tamu (passen­gers) di kapal pesiar. Dari passengers itulah steward mendapatkan tambahan income berbentuk gratuities (tips). Semakin baik kita melayani passengers, maka semakin besar gratuities yang kita terima. Ratio teori

 

 

 

 

 
8Happy Marpaung dan Herman Bahar,. Pengantar Pariwisata. (Bandung Alfabeta, 2002)

 

 

dibanding praktek di YOTABAKTT seputar 40% disbanding 60%.

Tidak hanya hal itu saja yang memotivasi seseorang untuk memilih alternatif sekolah kapal pesiar sebagai salah satu cara untuk mengubah perekonomian-nya. Dengan syarat yang mudahlah semua masyarakat bisa. mengaksesnya. Ini terbukti bahwa lulusan dari YOTA BAKTI banyak yang bekerja di kapal pesiar. Bahasa Inggris sangat diperlukan dalam open re­cruitment, maka bahasa ini menjadi dasar dari pembentukan para pekerja kapal pesiar. Mengenai banyaknya pendapatan dan pengalaman yang seseorang dapat ketika menjadi pekerja di kapal pesiar tidak akan lepas dari resiko-resiko yang harus dihadapi para pekerja tersebut.

 

Tinjauan Teori

 

  1. 1.      Risk Society

Ulrich Beck, di dalam bukunya: Risk Society: Towards a New Moder­nity9 menjelaskan “resiko” (risk) sebagai kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial) yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual. Resiko, dengan demikian, mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model dan proses perubahan di dalam sebuah masyara­kat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan menentukan tingkat resiko yang akan dihadapi oleh masyarakatnya. Setidaknya, ada tiga kondisi yang membentuk aneka resiko ini.

–        Pertama, resiko itu “diproduksi” di dalam sebuah sistem sosial, misalnya oleh institusi atau

  • organisasi (kesehatan, keamanan, pertanian), yang justru diharapkan dapat mengelola dan mengontrol resiko.

–        Kedua, besarnya resiko merupakan fungsi langsung dari kualitas relasi dan proses sosial

–        Ketiga, resiko tinggi disebabkan oleh ketergantungan besar masyarakat yang terkena resiko pada institusi atau aktor-aktor sosial yang justru asing, jauh, atau tak tersentuh oleh mereka10.

 

Resiko, dalam hal ini, berbanding terbalik dengan kemampuan sebuah institusi dalam mengelola sistem sosial. Pengelolaan sistem sosial yang buruk akan mempertinggi aneka resiko, dan sebaliknya. Perkembangan resiko ke arah “resiko tinggi” (high risk) di atas tubuh bangsa ini menunjukkan sangat buruknya pengelolaan sistem sosial itu, terutama pada institusi atau organisasi-organisasi yang bertanggung jawab terhadap munculnya resiko: sistem kontrol sosial yang mandul, sistem pengawasan (surveillance) yang tak berjalan, sistem pendisiplinan dan hukuman (discipline and punishment) yang tidak mempunyai kekuatan, sistem laporan Asal Bapak Senang (ABS).

Buruknya kualitas relasi sosial dan proses sosial akan semakin memper­tinggi tingkat resiko yang dihadapi. Kondisi buruk seperti inilah yang terjadi di atas tubuh bangsa ini, yang menyebabkan resiko berlipat ganda: aparat yang korup dan nepotis, kece-robohan lembaga pengawas makanan, kelambatan lembaga pengawas hasil pertanian dan peternakan, kelalaian

2003)

 

 

 

 

 

9 Ulrich Beck. Risk Society : Towards A New Modernity. (London ; Sage Publications,1992).

10 George Ritzer dan, J Douglas Goodman. Modern Sociological Theory, 6lh Edition. (New York: Me Graw Hill, 2003)

 

lembaga pengendali kehutanan, ketidakpedulian lembaga yang berurusan denganbencana alam (seperti banjir, longsor), apatisme masyarakat terhadap berbagai ancaman resiko.

Sikap reflexive adalah sikap yang berupaya mengatasi aneka efek resiko pada tingkat resiko itu sendiri melalui berbagai solusi teknis, bukan mencari akar-akar penyebab yang lebih funda­mental, esensial atau substansial inilah sikap reflexive modernity pada umumnya. Akan tetapi, sikap yang lebih buruk ketimbang reflexive adalah sikap “pembiaran total” dan ketakacuhan fatalistic (fatalistic indiffer­ence) terhadap aneka resiko sehingga resiko dilihat sebagai bagian rutinitas kehidupan sehari-hari, yang dalam ketakacuhan dibiarkan menjadi akumulasi resiko: banjir, longsor, kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas, demam berdar ah, virus ternak11

 

  1. 2.      Tiga ekologi resiko

Buruknya kualitas tiga bangunan sosial di atas sistem sosial, proses sosial, dan relasi sosial telah menggiring masyarakat bangsa ke arah tiga “ekologi resiko” (risk ecologies), yaitu: resiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), yaitu aneka resiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya; resiko mental (mental risk), yaitu aneka resiko kerusakan mental akibat perlakuan buruk pada tatanan psikis; resiko sosial (social risk), yaitu aneka resiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial (eco-social) 12

Resiko fisik-ekologis adalah berupa kerusakan pada arsitektur homo13 humanus dan oikos, yang bisa disebabkan oleh proses alam itu sendiri (seperti.gempa, tsunami, letusan gunung) atau yang diproduksi oleh manusia (man made risks). Aneka resiko biologis yang “diproduksi” melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak, buah-buahan yang menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit disebabkan oleh intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang melampaui batas. Misalnya, resiko akibat penggunaan zat kimia dalam proses reproduksi hewan atau tanaman. atau zat kimia (seperti formalin danboraks) pada makanan hyper-artificiality14.

Resiko mental adalah berupa hancurnya bangunan psyche, berupa perkembangan aneka bentuk abnor-malitas, penyimpangan (deviance) atau kerusakan psikis lainnya, baik yang disebabkan faktor eksternal maupun internal. Pembiaran berbagai bentuk kelainan psikis (seksual, kekerasan, kriminalitas) dengan membiarkan berbagai resikonya telah menciptakan manusia-manusia yang kehilangan “rasa kemanusiaannya” sendiri, yaitu manusia yang tanpa perasaan, rasa malu, empati, simpati dan tanggung jawab. Kerusakan parah “ekosistem mental” disebabkan pembiaran aneka resiko mental dari berbagai tindakan sosial, misalnya pembiaran kekerasan, korupsi, seks bebas dalam wakru yang lama-inhuman condition15.


 

 

 

 

11 ibid

12 opcit

13 ibid

14 ibid

15 ibid


 

 

Resiko sosial adalah berupa kerusakan bangunan socius, sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri. Resiko fisik “kecelakaan” (lalu lintas jalan, pesawat terbang, kecelakaan laut), “bencana” (banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan) menciptakan pula secara bersamaan resiko sosial, berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial”: ketak pedulian, ketakacuhan, indi-sipliner, fatalitas, selfishness, egoisme dan immoralitas. Resiko sosial paling besar dari pembiaran berbagai resiko fisik lainnya adalah mulai terkikisnya “rasa sosial” itu sendiri, yang mencipta­kan masyarakat tanpa rasa, kepekaan, kebersamaan dan tanggung jawab sosial asocial

Tiga ekologi resiko di atas menciptakan sebuah kondisi ruang kehidupan yang sarat ancaman, ketakutan, dan paranoia. Kondisi sarat resiko ini tidak dapat dibiarkan terus membiak dan berlipat ganda secara eksponensial, yang dapat menggiring pada kerusakan total fisik, mental dan sosial. Tidak saja diperlukan pikiran-pikiran reflexive dalam mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-darripak resiko, tetapi, lebih jauh lagi, renungan-renungan reflective melalui sentuhan halus kemanusiaan dalam mencari pemecahan-pemecahan lebih fundamental di balik aneka resiko yang dihadapi masyarakat bangsa-/rzg/z touch solution.

Beck melabeli yang baru, atau tepatnya yang baru muncul, sebagai bentuk modernitas refleksif. Sebuah proses individualisasi yang terdapat di Barat. Artinya, kebebasan para agen atas ketidakleluasaan struktural

meningkat dan, walhasil, dengan lebih baik dapat menciptakan bukan

saja diri mereka sendiri namun juga masya-rakat-masyarakat dimana mereka hidup. Sebagai contohnya, alih-alih ditentukan oleh situasi-situasi kelas mereka, malahan orang menjalankan kurang lebih dengan cara mereka sendiri. Seperti kata Beck, “dibiarkan dengan cara mereka sendiri, orang dipaksa untuk lebih refleksif,”. Tesis Ulrich Beck tentang Risk Society menunjukkan bahwa kehidupan sosial produk modernitas telah mengintro-dusir bahaya-bahaya baru yang setiap saat mesti dihadapi manusia. Jadi, secara dialektis, modernitas lanjut telah menghasilkan resiko-resiko yang tidak dapat diperkirakan dan juga dengan kapasitas-kapasitas refleksif yang tidak dapat diperkirakan untuk menghadapi resiko-resiko tersebut. Hal ini juga berlaku bagi mereka yarg tertarik untuk mendapat upah tinggi dengan bekerja di kapal pesiar16

 

Pembahasan

Kru Kapal Pesiar, Menjanjikan Namun

Penuh Resiko

Bekerja di kapal pesiar merupakan salah satu alternatif bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Kondisi di negara Indonesia saat ini banyak sekali para pria lajang pada khususnya memberanikan diri untuk melakukan pelay aran walaupun dengan skil yang pas-pasan yang dimiliki dan walaupun harus rela meninggalkan keluarganya di rumah dalam jangka waktu yang lama. Sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri merupakan salah satu alasan mengapa banyak pemuda yang senang bekerja di kapal pesiar. Bekerja di kapal pesiar

 

 

 

 

 
16 ibid


 

 

mempunyai banyak keuntungan, selain keuntungan material yaitu mendapatkan uang dalam dollar juga dapat menikmati tempat-tempat kunjungan di seluruh dunia dimana kapal akan singgah dan berlabuh. Para awak kapal pesiar ini memegang kontrak kerja selama 12 bulan. Terdiri dari 10 bulan kerja dan 2 bulan cuti. Mereka biasanya bekerja selama 10 hingga 13 jam per hari selama 7 hari seminggu. Waiters kapal pesiar mungkin bekerja selama 16 jam per hari. Bahkan tidur paling 6 jam setiap malam. Ironisnya kontrak kerja seringkali mensyaratkan pekerja untuk bekerja 80 jam seminggu.

Kapal pesiar selama ini banyak membutuhkan tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja kapal pesiar sangat besar, apalagi operator kapal pesiar makin banyak membangun kapal-kapal baru bagi kebutuhan passenger. Passenger adalah penumpang kapal yang membayar untuk dapat menikmati jalur pelayaran ke tempat-tempat wisata seluruh dunia. Mereka rela merogoh kocek mereka ribuan dollar untuk menikmati wisata di kapal pesiar yang mereka dambakan.

Mungkin banyak orang yang memandang bahwa dunia kapal pesiar menjanjikan glamor dan kemewahan. Orang yang bekerja di luar negeri/kapal pesiar biasanya para pekerja tersebut mendapat merk yaitu sebagai orang kaya baru. Beredarnya stereotype bahwa pekerja di luar negeri pasti banyak uang secara tidak langsung juga menyebabkan bekerja di luar negeri /kapal pesiar menjadi magnet yang luar biasa bagi sebagian kalangan pencari kerja di Indonesia. Jika dibandingkan gaji karyawan swasta di Indonesia, gaji di luar negeri memang bisa berlipat-lipat jumlahnya tapi jika faktor-faktor lain dipertimbangkan seperti faktor sosial dan mental, makanilai yang berlipat-lipat tersebut bisa j adi nilainy a akan sama

secara universal jika dibanding gaji di Indonesia17 (Akibat magnet yang luar biasa tersebut terkadang para pencari kerja di luar negeri/kapal pesiar menj adi buta / mudah tertipu dengan janji-janji agen penyalur yang tidak jelas kredibilitasnya. Namun, para awak kapal disini bukan untuk pergi berlibur, namun mereka bekerja di atas kapal pesiar. Kondisi kerja para staff kapal pesiar seperti perwira, kapten, staff cruise, entertainer dan pekerja casino bisa dibilang relatif bagus. Tetapi kenyataannya sungguh berbeda bagi pekerja restoran, petugas kebersihan, pekerja dapur dan pekerja di bawah dek kapal karena banyak mereka yang mendapatkan upah kurang layak, akomodasi seadanya, makan sekedarnya dan berada dalam sistem kerja yang tidak pasti. Setiap pekerjaan pasti mempunyai resiko, tidak selamanya bekerja di kapal pesiar hanya mendapatkan keuntungan saja, banyak resiko jika bekerja di kapal pesiar.

Masyarakat sendiri telah bergerak menuju sebuah kondisi sebagaimana Ulrich Beck menyebutnya sebagai ”Masyarakat Resiko” (Risk Society). Sebuah ketidak-pastian akan kehidupan, yang senantiasa memprovokasi kita untuk mengambil tindakan atau keputusan-keputusan penting, padahal sebelumnya kita sama sekali tidak mengetahui hal ikhwal dan informasi tentang tindakan itu.

Resiko dihasilkan oleh sumber kekayaan dalam masyarakat modern. Efek dari industri menghasilkan konsekuensi yang berbahaya, bahkan mematikan bagi masyarakat, ini merupakan efek dari globalisasi. Menurut Ulrich Beck, resiko modern tidak dibatasi oleh tempat atau waktu.Kelassosialmenempatiposisisentral dalam masyarakat industri dan resiko adalah sesuatu yang fundamental bagi masyarakat resiko. Sejauh ini, resiko


 

 

 
17opcit


 

 

tampaknya memperkuat masyarakat kelas. Kemiskinan banyak menimbulkan resiko kemalangan sedangkan orang kaya dengan kekayaannya dapat membeli keamanan dan kebebasan dengan resiko.

Persiapan mental merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk bekerja di kapal pesiar. Pada umumnya orang hanya memandang bekerja di kapal pesiar itu dari sisi gemerlap saja seperti banyak uang dan bisa keliling dunia secara gratis sehingga faktor mental kurang diperhatikan. Akibatnya tidak sedikit yang harus pulang (bahkan dipulangkan) sebelum waktunya entah itu karena tidak bisa survive dengan kerasnya kehidupan di kapal atau bisa karena faktor non-teknis lainnya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan:

  1. Penyakit homesick

Penyakit homesick bisa mempenga-ruhi mental ketika berkerja di kapal sehingga performance pun turun. Kerja di kapal pesiar memerlukan konsentrasi dan mobilitas yang tinggi, ceria dan selalu tersenyum. Kontrak di kapal pesiar umumnya bervariasi antara 6-10 bulan. Perusahaan tentunya tidak ingin staff member-nya selalu murung dan rindu ingin bertemu keluarga di rumah.

  1. Pengendalian emosi/marah

Bekerja di kapal pesiar sangat menguras energi dan benturan-benturan sosial sesama pekerja tidak bisa dihindarkan perkelahian antara staff member sangat tidak bisa ditoleransi di kapal dan faktor perkelahian masih bisa menjadi alasan nomer 1 dipulangkan beberapa pekerja di kapal pesiar.

  1. Kemampuan adaptasi

Crew member di kapal pesiar berasal dariberbagai negara dan dituntut untuk bisa beradaptasi seperti mereka.

  1. Lampu kuning bagi yang suka minum

 

 

 

Jangan sampai terjebak terlalu jauh dengan dunia alkohol dan harus tahu batas kemampuan dirinya, karena sebagian besar perkelahian banyak disebabkan karena kebiasaan sebelumnya suka meminum alkohol.

  1. Physically fit

Kerja di kapal pesiar menuntut jam kerja yang panjang sehingga kemampuan fisik manjadi faktor yang utama. Selain olahraga secara teratur, melakukan medical check up yang lengkap juga dianjurkan untuk mengetahui secara menyeluruh kondisi kesehatan.

Banyak TKI yang bekerja di lautan sekitar AS. Para TKI ini banyak yang bekerja di restoran, bar, dapur dan bagian kebersihan di berbagai hotel terapung. Para pekerja di bawah dek kapal sering harus overtime dengan upah yang rendah, tidak punya jaminan sosial dan sering dieksploitasi. Kebanyakan mendapat job dari agen tenaga kerja bukan dari manajemen kapal pesiar. Manajemen kapal seringkali membatasi kebebasan awaknya untuk berserikat dengan berbagai negara, etnik, kebudayaan serta bahasa. Ini merupakan taktik halus agar awak kapal pesiar tidak mudah bersatu melawan kebijakan perusahaan.

Mayoritas awak kapal pesiar Indo­nesia tidak mempunyai pilihan lain dan ia dipekerjakan dalam.suasana kerja berat, mereka memilih bertahan untuk menafkahi keluarga di tanah air. Dari segi ekonomi, kehidupan pa’ra pekerja kapal pesiar lebih bagus dibandingkan rata-rata penduduk lain. Gaji para kru kapal pesiar berkisar antara 1500-2000 dolar AS per bulan, sehingga rata-rata mereka memiliki penghasilan sebesar 18,5 jt per bulan.

 

 

Perusahaan memang mempunyai kebijakan bisa memberikan cuti panjang pada karyawannya. Bahkan jika ada karyawan yang sudah turun darat lebih dari dua atau tiga tahun masih bisa kembali kerja di perusahaan tersebut. Asalkan tidak mempunyai kesalahan dalam bekerja, maka karyawan tersebut masih bisa bekerja lagi di perusahaan yang sama.

Godaan bekerja di kapal pesiar memang banyak. Godaan yang paling berat adalah meninggalkan keluarga untuk jangka waktu yang lama. Biaya untuk menelfon keluarga sangat mahal. Beberapa keuntungan bekerja di kapal pesiar seperti:

  1. Memperoleh penghasilan yang berlipat ganda daripada bekerja di kantoran.
  2. Dapat merasakan indahnya dunia dan jalan-jalan ke seluruh penjuru dunia tanpa harus mengeluarkan kocek sedikitpun, karena biaya tiket sudah ditanggung oleh perusahaan penyedia jasa kapal pesiar.
  3. Dengan bekerja di kapal pesiar, tentunya biaya hidup sudah ditanggung, seperti sandang, pangan, papan.
  4. Belajar untuk hidup mandiri.

Tetapi, tidak saja kesejahteraan individu yang memproduksi resiko resiko aman darinya, seperti yang dilakukan pegawai kapal pesiar, dalam konteks ini, Beck18 membicarakan apa yang ia sebut sebagai efek boomerang. Dalam cara bagai-mana efek-efek samping resiko menyerang kembali bahkan ketika sedang dibuat. Agen-agen modernisasi sendiri dengan tegas terperangkap dalam pusaranbahaya yang mereka lepaskan dan menarik

 

keuntungan atasnya. Seperti halnya kru kapal pesiar yang termotivasi bekerja di kapal pesiar, walaupun dengan ancaman resiko penindasan mental mereka, tetap saja menjadi daya tarik besar dengan iming-iming upah yang besar. Artinya mereka menarik keuntungan dari resiko yang mereka buat.

Aneka proses sosial dan relasi sosial yang melibatkan teknologi, alam, dan aktor sosial (produksi, konsumsi, transportasi, pengobatan, pekerjaan) tidak saja memproduksi dan mengonsumsi didalamnya “produk-produk sosial”, tetapi sekaligus “memproduksi” dan “mengonsumsi” aneka “resiko”, baik yang bersif at fisik, psikis, maupun sosial. Mesin-mesin sosial yang sebenarnya ditujukan untuk memproduksi produk-produk sosial (kesehatan, keamanan, kekayaan, kemakmuran) kini sekaligus menjadi “mesin-mesin resiko sosial” the social risk machine.

Multiplisitas proses ekonomi, produksi dan industri (makanan, obat-obatan, kendaraan, jasa elektronik) memproduksi pula bersamanya “multiplisitas resiko” serta efek-efek ketakutan yang ditimbulkannya. Ancaman kini ada di mana-mana, resiko kini muncul dari mana-mana, seakan tak ada lagi ruang kehidupan yang terbebas dari efek ancamannya. Efek ketakutan akibat resiko itu kini justru berlapis-lapis dan berlipat ganda, yang menggiring masya-rakat bangsa ke arah masyarakat beresiko tinggi terhadap aneka kerusakan fisik, psikis dan sosial-high risk society.

 

 


 

 

 

18 opcit


 


Anak-anak Muda Bagian dari Masyarakat Resiko

 

Dengan memilih bekerja di kapal pesiar berarti anak-anak muda sekarang telah menjadi bagian dari masyarakat modern yang siap menantang resiko. Pekerjaan di kapal pesiar ini dianggap sebagai pekerjaan yang elit yang dilakukan di negeri yang jauh dengan gaji dolar atau euro. Namun kenyataannya ini merupakan pekerjaan yang cukup menantang dan berbahaya dengan berbagai resiko didalamnya.

Jika dikaitkan dengan fenomena anak muda yang bekerja di kapal pesiar, maka hal tersebut juga tidak akan lepas dari resiko-resiko. Resiko yang dialaminya akibat dari proses perubahan dan kemajuan, tepatnya industri pariwisata yang berkembang pesat. Salah satu resiko yang ada pada fenomena anak muda yang bekerja di bidang pelayaran ialah resiko yang sifatnya sosial. Resiko sosial ini ialah berupa kerusakan bangunan sosial, sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri. Dalam hal ini, para pekerja harus siap dengan pcnggunaan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi serta tata cara atau budaya global yang identik budaya barat. Mau tidak mau mereka harus melakukannya, dan siap menerima perubahan dalam komunikasinya dan tentunya gaya hidupnya yang berkiblat pada gaya hidup Barat. Maka kerusakan sosialpun akhirnya dapat timbul yang terlihat pada bentuk-bentuk hubungan / relasi sosial yang baru yang sudah tidak lagi mengikuti bentuk hubungan sosial berdasarkan ketentuan atau budaya asal melainkan disesuaikan dengan budaya glo­bal. Misalnya jika budaya asalnya dulu menekankan ketulusan (tidak mengharap-kan apa-apa) dalam berhubungan dengan orang lain, berubah menjadi menekankan kepentingan tertentu dalam berhubungan dengan orang lain, seperti memberikan

 

pelayanan yang terbaik pada para pengunjung disebabkan untuk memenuhi kewajibannya dan merupakan upaya untuk mendapatkan tips dari mereka. Jika dibiarkan lebih lanjut, bukan tidak mungkin dapat mengikis rasa sosial dan berpotensi menciptakan masyarakat tanpa kepekaan dan tanggung jawab sosial.

Resiko lain yang harus dihadapi oleh pemuda yang bekerja di kapal pesiar adalah pola kerja yang keras. Mereka yang bekerja harus memiliki visa, sistem kerjanya sendiri umumnya kontrak. Pekerjaan di kapal pesiar ini sendiri ada bagian-bagiannya. Untuk para awak kapal pesiar, yang bekerja di bawah dek sering harus bekerja overtime dengan upah rendah, tidak punya jaminan sosial dan sering dieksploitasi. Kebanyakan dari mereka mendapatkan job melalui agen tenaga kerja, bukan langsung dari manajemen kapal pesiar. Para awak kapal pesiar ini memegang kontrak kerja selama 12 bulan, terdiri dari sepuluh bulan bekerja dan dua bulan cuti. Mereka bekerja biasanya 10-13 jam per hari dan selama 7 hari seminggu. Dapat dibayangkan betapa besar resiko yang harus mereka ambil agar dapat bekerja di kapal pesiar.

Fenomena lain yang ada dalam bekerja di kapal pesiar adalah lompat kapal (jump­ing from ship), dimana awak kapal yang kabur dari kapal atau terjun dari kapal dan kerja tanpa surat di darat. Hal ini diakibatkan karena sistem kerja yang terlalu keras, selain itu manajemen kapal pesiar sering kali membatasi kebebasan awaknya untuk berserikat. Hal ini dapat dilihat dari cara manajemen kapal pesiar yang merekrut staff dari berbagai negara, etnik, kebudayaan serta bahasa. Ini merupakan taktik halus agar awak kapal pesiar tidak mudah bersatu melawan kebijakan perusahaan. Dengan sistem kerja kontrak mereka hanya diizinkan bekerja di kapal

 

pesiar selama kontrak dan bisa transit sementara kapalnya bersandar di pelabuhan.

Resiko utama yang dihadapi oleh para pekerja kapal pesiar atau bidang pelayaran adalah yang berkaitan dengan keselamatan pribadi. Mengingat, lingkungan pekerja pada kapal pesiar adalah laut lepas. Di laut lepas yang sangat luas, cuaca sulit diprediksi terbukti dengan sering berubahnya cuaca dengan cepat, seperti munculnya badai, ombak besar yang tentunya membahayakan keselamatan para penumpang kapal. Hal tersebut dapat berpotensi besar menjadi faktor penyebab kecelakaan yang fatal, dan kecelakaan itulah yang menjadi resiko bagi para pekerja bidang pelayaran.

Oleh karena itu diperlukan upaya untuk dapat mengendalikan atau meminimalkan resiko-resiko yang mungkin tercipta. Karena memang resiko adalah akibat yang bisa dikontrol, dan itulah yang membedakannya dengan bahaya yang merupakan akibat yang tidak dapat dikontrol. (Beck, 1992) Dan salah satu tindakan yang dapat digunakan untuk mengontrol resiko sosial yang telah disebutkan di atas, misalnya dengan mcngadakan suatu acara yang dapat mengundang partisipasi antara para penumpang dan para crew kapal. Acara itu berisi aktivitas yang sifatnya ringan dan menyenangkan seperti pertandingan catur, ataupun menggelar pesta dansa, dan lain-lain, yang terpenting tercipta keakraban dengan tetap adanya saling menghargai sta­tus dan peran masing-masing. Sehingga para pekerja masih memiliki rasa sosial,dan kepekaan sosial.

Menurut Beck untuk meminimalisir resiko hubungan sosial yang baru terbentuk dan jaringan sosial kini harus dipilih secara individual; ikatan-ikatan sosial juga menjadi refleksif, sehingga ikatan-ikatan tersebut

harus dibangun, dipelihara dan terus-menerus diperbaharui oleh individu-individu. Jadi seseorang yang ingin bekerja di kapal pesiar mereka harus mampu beradaptasi dengan berbagai macam orang dengan perbedaan negara, etnik, kebudayaan serta bahasa. Karena pada dasarnya budaya resiko dan ketidakpastian itu lahir dari, dan direproduksi oleh dampak perubahan yang tetap dan cepat terhadap kehidupan individual19. Semakin terbuka sebuah masyarakat maka pergeseran nilai semakin cepat dan peluang terjadinya perubahan akan semakin besar pula.

Sementara itu, resiko yang berkaitan dengan keselamatan diri dari ancaman kecelakaan di laut telah dapat diantisipasi. Para pekerja dapat mengantisipasi resiko tersebut dengan memiliki kemampuan dan keterampilan untuk berenang. Sehingga jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan di laut jiwa mereka dapat terselamatkan. Selain itu resiko keamanan para pekerja makin berkurang, dengan adanya peralatan dengan teknologi terbaru yang dapat mengontrol resiko tersebut. Misalnya dipergunakannya alat untuk mendeteksi kecepatan angin dengan teknologi canggih, agar dapat memantau kecepatan angin dan perubahan cuaca di laut sehingga sedini mungkin mengetahui jika akan terjadi badai. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa upaya ataupun tindakan tertentu, ternyata dapat dilakukan untuk mengontrol resiko tertentu pula.

 

Modernitas refleksif dalam konteks fenomena anak muda yang bekerja di kapal pesiar.

Akhirnya, kaitan penting antara fenomena anak muda yang bekerja di kapal pesiar atau bidang pelayaran dengan pemikiran Ulrich Beck adalah apa yang

 

 

 

 

 

19 George Ritzer. Postmodern Social Theory. (New York: The Me Graw-Hill Companies, Inc,1997).

 

 

disebutnya sebagai modernitas refleksif. Yang artinya kebebasan atas ketidak-leluasaan struktural meningkat dan hasilnya dengan lebih baik dapat menciptakan bukan saja diri mereka, sendiri namun juga masyarakat-masyarakat dimana mereka hidup, sehingga orang tidak lagi ditentukan kelas melainkan dirinya sendiri. Dan dengan jalan atau cara seperti ini membuat orang dipaksa untuk lebih refleksif.

Modernisasi baru ini nantinya akan memproduksi resiko-resiko dan juga memproduksi refleksivitas yang memung-kinkannya untuk mempertanyakan diri dari resiko-resiko yang dibuatnya. Selanjutnya mereka yang menjadi korban dari suatu resiko, mulai memikirkannya sekaligus memikirkan upaya untuk dapat memi-nimalkannya. Menilai fenomena anak muda yang begitu berminat bekerja di bidang pelayaran atau di kapal pesiar, disebabkan mereka mencoba melakukan refleksi atas tindakan yang mereka lakukan. Reflektivitas mereka berarti mempertimbangkan keuntungan yang akan mereka peroleh, juga memikirkan resiko dan konsekuensi yang dihadapi, sehingga sampai pada tahap mengendalikan atau mengontrolnya. Yang akhirnya hasil dari refleksivitas anak muda cenderung membuat minat yang tinggi terhadap pekerjaan seperti di kapal atau bidang pelayaran, karena mereka telah menemukan upaya untuk mengantisipasi resiko-resiko yang mungkin mereka terima.

Untuk bekerja di kapal pesiar ini sendiri mereka harus menanggung resiko jauh dari keluarga, sehingga jika mereka mengalami kesusahan mereka harus mampu me-nanganinya sendiri. Bukan hanya jauh dari keluarga namun mereka juga harus mampu menyesuaikan diri dengan tempat mereka bekerja yang selalu berpindah-pindah dari negara satu ke negara yang lain yang sama

 

sekali belum mereka ketahui. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Beck bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang bisa meminimalisir dan menantang resiko. Masyarakat harus lebih dapat refleksif dalam arti sensitif terhadap suatu perubahan. Beck mengungkapkan hal ini sebagai modernitas refleksif. Modernitas refleksif menekankan bahwa resiko harus dapat dicegah, diminimalkan, dipantau atau diatur20

Globalisasi telah mengubah cara pandang para generasi muda, jika dulunya seorang anak hanya bertolak pada pandangan dari kedua orang tuanya dan bersedia melanjutkan pekerjaan orang tua mereka seperti berkebun, bertani, ber-dagang dan menjadi PNS namun dengan berjalannya waktu semua ini menjadi berubah. Ini terkait dengan penjelasan Beck mengenai subpolitik, contohnya perusahaan-perusahaanbesar. Dalam sistem subpolitik Beck struktur masyarakat baru sedang diimplementasikan berkenaan dengan tujuan-tujuan akhir kemajuan dalam pengetahuan, di luar sistem parlementer, bukan sebagai oposisi atasnya, namun hanya tidak menghiraukannya. sehingga dengan masuknya budaya globalisasi ini anak-anak muda telah kehilangan pengabdian serta rasa nasionalismenya, komersialisasi seakan-akan telah tertanam pada diri mereka yang selalu berpikir secara rasional. Mereka telah terasuki oleh budaya kapitalis yang menjunjung tinggi perolehan keuntungan dengan tidak menghiraukan dampak yang ada di sekitarnya.

Anak-anak muda sekarang memiliki pandangan yang luas tidak lagi dalam skala nasional akan tetapi dalam skala global, dan inilah effect dari modernitas. Dengan adanya modernisasi mereka beranggapan bahwa pekerjaan yang sebagaimana orang

 


 

 

 
20 ibid

 

 

tua mereka lakukan dulu tidak terlalu menantang dan kurang menghasilkan sebuah kemajuan. Mereka beranggapan pekerjaan orang tua mereka hanya bersif at monoton dan tanpa adanya harapan menuju hal yang lebih berkembang. Modernitas telah membubarkan struktur masyarakat feodal dan menghasilkan masyarakat industri. Anak muda sekarang lebih bersifat destruktif berbanding terbalik dengan orang zaman dahulu yang fatalis menjalankan sesuatu dengan pasrah21

Mereka berpendapatbahwa bekerja di kapal pesiar lebih menjanjikan kesuksesan dan perolehan kedudukan yang lebih baik. Seperti yang disebutkan di awal bahwa bekerja di kapal pesiar bagi masyarakat umum dianggap sebagai pekerjaan yang elit. Terlebih dalam masyarakat modern kelas sosial menempati posisi sentral dalam masyarakat industri seperti sekarang mi. Pola kelas ini sendiri berdasarkan pendapatan, kekuasaan atau pendidikan.

Keinginan untuk mendapatkan kelas sosial tinggi inilah yang membuat generasi muda bersedia menantang segala resiko yang akan dihasilkan. Namun, dalam kenyataannya keputusan ini menghasilkan efek boomerang, dimana dalam pengam-bilan resiko tidak kcsejahteraan yang di dapatkan namun kebalikannya. Memang sebagian dari orang yang bekerja di kapal pesiar menghasilkan pendapatan yang besar dan mampu mengubah perekono-mian keluarganya. Akan tetapi di balik itu, juga ada sebagian lainnya yang mendapat kehidupan yang jauh di bawahnya. Seperti mengalami desersi dan terlunta-lunta di negeri orang. Menurut Beck sains telah menjadi pelindung kontaminasi global terhadap manusia dan alam. Serta mengancam reputasi historis rasionalnya.

Globalisasi yang dihasilkan oleh sains menjadi tameng atas perubahan yang terjadi yang dapat mempengaruhi pikiran manusia agar sejalan dengan modernisasi itu sendiri.

 

Penutup

  1. 1.      Manajemen Resiko

Inti bahaya masyarakat adalah penerapan rasionalisme instrumental dalam bentuk ilmu pengetahuan untuk menghasilkan kekayaan dan monopoli sistem. Akibat yang tidak diinginkan dari rasionalitas ini pada kenyataannya akan melabilkan masyarakat manusia, dan membuat mereka terbuka terhadap resiko disekitarnya. Generasi muda In­donesia harus mampu mengendalikan keadaan, bukan mereka yang dikendalikan oleh keadaan. Mereka harus memiliki jati diri dan bersifat refleksif dalam menerima perubahan. Cara manapun yang kita pilih, kita selalu berhadapan dengan manajemen resiko.

Generasi muda sekarang adalah generasi yang selalu berpikir realistis. Sehingga apapun pekerjaannya asal baik dan dapat mencukupi kebutuhan serta tidak mengambil hak-hak orang lain memang pantas untuk diperjuang-kan. Meskipun dalam pelaksanaannya akan ada hambatan dan resiko-resiko yang harus dihadapi. Jika kita tidak berpikir jauh ke depan maka kita akan tertinggal terlebih dengan kemajuan zaman (modernitas). Namun dibalikitu semua generasi muda harus memiliki , sebuah identitas sebagai jati diri mereka, sehingga mereka tidak akan mudah terbawa arus yang dapat menyesatkan kehidupan mereka nantinya.

 

 


 

 

 

21 Radhar Panca Dahana. Jejak Posmodernisme Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit Bentang/2004)

 

 

  1. 2.      Meminimalisasi Resiko

Ketika zaman feodal, masyara-katnya dihadapkan pada situasi pelapisan sosial / stratifikasi sosial. Yang menduduki strata paling atas adalah raja, selanjutnya adalah bangsawan dan yang berada pada lapisan paling bawah adalah rakyat jelata. Perkembangan selanjutnya adalah zaman atau abad industri yang ditandai dengan adanya revolusi industri di Inggris. Dalam perkembangan zaman itu, sistem stratifikasi sosialnyapun juga berubah. yang dulunya raja, bangsawan dan rakyat, saat zaman industri status sosial atas adalah kaum borjuis dan kaum proletar pada satus sosial bawah. Sedangkan pada perkembangan selanjutnya, isu stratifikasi sosial bukan lagi menjadi hal yang perlu diperhatikan, namun isu terpenting dari era millennium adalah resiko dan minimalisasi resiko yang ada22

Ketika memasuki tahun 2000 yang kita kenal dengan abad millennium, kita dikenalkan pula dengan globalisasi. Globalisasi merupakan era ditandai dengan adanya modernisasi teknologi serta informasi yang bersifat global / mendunia23 Seperti misalnya kita dapat mengakses berita hasil perhitungan suara Pemilu Kada Jawa Tengah di Amerika Serikat dalam hitungan detik saja.

Era globalisasi menawarkan system borderless dengan segala kemajuan teknologinya. Dan semakin majunya zaman maka kita akan semakin dipermudah teknologi, namun yang perlu disadari adalah resiko-resiko yang ditimbulkan dari kemajuan suatu’ teknologi. Masyarakatyang hidup pada

era globalisasi ini akan selalu dihadapkan dengan resiko, dan mereka akan berusaha meminimalkan resiko yang dihadapi24 Seperti misalnya zaman awal ditemukan sepeda, jika or-ang menggunakan sepeda, resikonya adalah terjatuh dari sepeda. Semakin majunya zaman, maka ditemukan sepeda motor, resiko menggunakannya akan lebih besar seperti ditilang polisi, kecelakaan, patah tulang bahkan kematian. Namun masyarakat resiko ini meminimalkan resiko dengan memakai helm, membawa STNK dan SIM.

Jika dikaitkan dengan fenomena anak muda yang bekerja di kapal pesiar maka pendidikan sangat penting sebagai usaha meminimalkan resiko karena:

  1. a.      Pendidikan   sebagai   Proses Pembelajaran

Pendidikan merupakan bidang vital guna pembangunan suatu bangsa dan negara. Tugas utama pendidikan dalam pembangunan suatu bangsa yakni membentuk kemampuan (unlock the capacity) yang dimiliki seseorang seoptimal mungkin melalui sharing of inform untuk menjadi manusia yang pintar, kreatif, kritis, ketahanmalangan (ad­versity).

Menurut Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

 

 


 

 

 

22 opcit

23 opcit

24 opcit


 

 

kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran bertahap untuk memaksimalkan potensi diri peserta didik. Proses pembelajaran ini bukanlah suatu proses yang instan. Proses pembelajaran ini nantinya akan diukur menurut standar tertentu untuk mengetahui sejauh mana peserta didik sukses dalam belajar. Dan jika telah mencapai suatu tahapan pendidikan, maka akan mendapatkan suatu sertifikat / ijazah.

Ijazah merupakan produk lembaga pendidikan. Ijazah ini merupakan simbol, didalamnya menerangkan mengenai kemampuan seseorang dalam bidang tertentu. Dan ijazah diperlukan dalam mencari suatu pekerjaan, diterima atau tidaknya tenaga kerja tergantung pada nilai jual ijazah.

  1. b.      Pendidikan   sebagai   Sarana Investasi

Memasuki era globalisasi yang menuntut masyarakat mengambil resiko termasuk juga dalam memilih pendidikan untuk jaminan di masa depan. Pendidikan telah menjadi kebutuhan di masyarakat karena pendidikan juga merupakan investasi di masa depan. Ketika sekarang mengeluarkan uang (modal) untuk membayar biaya untuk bersekolah, ketika telah lulus diharapkan dapat bekerja dan mengembalikan modal tersebut. Inilah yang dinamakan dengan investasi.

Semakin banyaknya masyara­kat yang antusias untuk mengen-

 

 

yam pendidikan ternyata menye-babkan tingginya jumlah angkatan kerja. Hal tersebut akan memicu persaingan ketat diantara pencari kerja. Karena itulah, investasi di bidang pendidikan ternyata juga memerlukan pilihan yang cermat, seperti pemilihan jurusan atau bidang akademik yang prospektif. Jurusan prospektif ini nantinya akan menjamin masa depan dan meminimalkan resiko agar tidak menjadi pengangguran. Atau setidaknya seseorang dapat bekerja dengan gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup.

Seperti (kasus) pemilihan jurusan Kapal Pesiar. Banyak mu-rid yang melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Pariwisata khusus-nya jurusan Kapal Pesiar. Kebanyakan dari mereka memilih jurusan ini karena menilai prospektif dari lulusan kapal pesiar. Prospektif karena sudah ada jaminan pekerja-an setelah wisuda, juga karena in­come yang akan didapat juga tinggi.

 

  1. 3.      Kekayaan ‘Membeli’ Resiko

Kapitalisme mendorong orang untuk mengakumulasikan modal dan kompetitif dalam hal ekonomi. Selain itu, kebutuhan hidup yang semakin meningkat seiring perkembangan teknologi, karena teknologi juga sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup.  Sehingga seseorang ‘dipaksa’ untuk mencari uang lebih banyak dan mencukupi kebutuhan hidupnya.

Bekerja di kapal pesiar saat ini menjadi pilihan utama bagi anak-anak muda karena menjanjikan gaji besar dan kekayaan. Sebagai batu pijakannya, mereka memilih

 

 

bersekolah di Sekolah Kepariwisataan dan Pendidikan Kapal Pesiar. Dan yang terjadi sekarang ini adalah semakin diminatinya Sekolah Kepariwisataan karena prospektif dan menjanjikan rnasa depan yang cerah.

Kekayaan (didalamnya pen-dapatan, kekuasaan, dan pendidikan) bisa “membeli” keselamatan dan memberikan keterbebasan dari

resiko. Senada dengan yang dikemukakan Beck, fenomena yang ada sekarang ini juga mengindi-kasikan demikian. Banyak orang berlomba-lomba untuk mencari kekayaan meskipun dengan resiko-resiko tertentu. Dan manusia mod­ern akan selalu mencari cara untuk dapat menjamin keselamatan hidupnya dari resiko-resiko.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Appadurai, Arjun. 1998, “Globule Landschaften” Ulrich Beck (ed) Perspectiven der Weltgesellschaft, Franfurt am Main: Suhrkamp.

Beck, Ulrich, 1992. Risk Society: Towards A New Modernity. London; Sage Publications.

Dahana, Radhar Panca. 2004. Jejak Posmodernisme Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Demartoto, Argyo. 2007. Mosaik Dalam Sosiologi. Surakarta. UNS Press.

Demartoto, Argyo. 2009. Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender Menyoal TKW Indonesia Yang Akan Dikirim Keluar Negeri. Surakarta. UNS Press.

Featherstone, Mike dan Lash, Scott (eds). 1999. Space of Culture: City, Nation and World. London: Sage

Giddens, Anthony, 1990. The Consequences of Modernity, Stanford, CA; Stanford Univer­sity Press.

Lash, Scott. 1990. The Sociology of Postmodernism, London. Routledge.

Marpaung, Happy dan Bahar, Herman. 2002. Pengantar Pariwisata. Alfabeta: Bandung

Ritzer, George. 1997. Postmodern Social Theory. New York: The Me Graw-Hill Companies, Inc.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2003. Modern Sociological Theory, 6th Edition. New York: Me Graw Hill

Roberston, Roland. 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture. London: Sage

Suyoto; Arifin, Syamsul; Purwadi, Agus; Budiman, Ajang; Khozin; Faridi A. (Editor). 1994. Postmodernisme dan Masa Peradaban. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media

T. Baum (ed). 1993. Human Resources Issue in International Tourism. Oxford: Butterworth Heinermann

http://www.yotabakti.com “YOTABAKTI” Marine Hotel Training School, Jl. Sorowajan Baru No. 19 Yogyakarta. Akses: 27 Juli 2011