SEKS, GENDER, SEKSUALITAS GAY DAN LESBIAN
Dr. Argyo Demartoto, MSi[1]
- A. PENGANTAR
Perbincangan mengenai seks dan seksualitas masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat Indonesia, apalagi perbincangan mengenai homoseksualitas. Hal tersebut menyebabkan kurangnya informasi dan otomatis berdampak pula pada kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pendidikan seksual, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas. Tidak adanya pengetahuan yang memadai inilah yang menyebabkan munculnya informasi-informasi yang simpang siur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berkenaan dengan homoseksualitas di Indonesia. Hingga kemudian memberikan stigma negatif mengenai homoseksualitas terutama gay dan lesbian.
Mengangkat dan tentunya mempertanyakan seksualitas dalam keseluruhan desain demokrasi oleh karenanya menjadi agenda penting di Indonesia. Hal tersebut diantaranya juga disebabkan bahwa seksualitas mempunyai wilayah internal politiknya sendiri, ketidakadilan dan modus penindasan sendiri. Tidak bisa hanya didekati dengan konsep-konsep politik yang kontroversial, seperti demokrasi liberal, marxis, feminisme, dan sebagainya. Letak masalahnya adalah heteronormativitas, yaitu ideologi tentang keharusan untuk menjadi heteroseksual, yang didasarkan pada penindasan orientasi seksual lain yang tidak berorentasi reproduksi keturunan seperti onani, masturbasi, atau homoseksualitas. Juga keharusan akan kesesuaian antara identitas gender dan identitas seksual. Kalau beranatomi laki-laki, maka harus maskulin, dan sebaliknya bila beranatomi perempuan maka harus feminin.
Alasan lain bagi keharusan ini adalah gagalnya feminisme, model analisis hubungan tidak adil antara laki-laki dan perempuan yang sudah berkembang dengan baik di Indonesia , untuk memahami ketidakadilan yang berdasarkan seksualitas. Feminisme terlalu banyak berkonsentrasi pada gender dan menyepelekan seksualitas. Kalau ada perbincangan mengenai seksualitas dalam feminisme biasanya adalah persoalan seksualitas yang masih dalam bingkai heteroseksualitas. Hal tersebut membuktikan apa yang telah dikemukakan Rubin tentang feminisme. Meskipun sukses besar menjelaskan ketidakadilan sosial berbasis gender, feminisme gagal memberikan penjelasan atas ketidakadilan yang terjadi karena orientasi seksual. Heteronormativitas adalah ideologi yang menyatakan bahwa heteroseksualitas adalah bentuk hubungan yang sah, sama sekali tidak dipertanyakan. Oleh karena itu sangat mendesak kebutuhan untuk membuka perdebatan panjang dan mengembangkan perspektif yang radikal tentang seksualitas dalam konteks Indonesia.[2]
- B. HOMOPHOBIA : KAUM GAY DAN LESBIAN SEMAKIN EKSKLUSIF
Dalam logosentrisme, heteroseksualitas bukan hanya dibedakan (differentiated) melainkan juga dianggap lebih tinggi derajadnya (privileged) atas praktik non-hetero. Tidak cukup hanya dengan privelese itu, bentuk seksual yang lain diberi sebutan negatif, direndahkan, melalui strategi patologisasi, abnormalisasi dan kriminalisasi.[3]
Kebanyakan masyarakat Indonesia belum begitu paham tentang homoseksualitas. Pembicaraan mengenai homoseksualitas hanya sebatas pembicaraan di warung kopi yang banyak memberikan komentar tanpa mengetahui fakta empiris yang ada di lapangan, oleh karena pengetahuan yang sangat sempit ini maka muncul banyak stigma dan mitos seputar homoseksual di masyarakat kita. Salah satunya adalah di Indonesia homoseksual dianggap sebagai suatu penyakit yang berasal dari orang–orang barat (bule) dan homoseksual adalah penyebab munculnya penyakit HIV dan AIDS. Beberapa pandangan ilmiahpun semakin memojokkan masyarakat homofil dengan mengatakan bahwa homoseksual adalah suatu bentuk penyimpangan atau deviasi sosial. Orang yang memiliki perasaan sayang dengan orang yang berjenis kelamin sama divonis telah mengidap suatu gangguan kejiwaan dan segala sesuatu yang mereka (kaum homoseksual) lakukan dianggap patologis dan tidak normal.
Homophobia adalah sebuah sikap atau perasaan negatif, tidak suka terhadap gay atau lesbian atau homoseksualitas secara umum. Homophobia bisa juga diartikan penolakan terhadap orang-orang yang dianggap gay atau lesbian dan semua yang diasosiasikan dengan mereka, misal sikap non konformitas terhadap peran gender. Tekanan dari masyarakat yang homphobia ini menyebabkan relasi lesbian tidak eksis di masyarakat kita. Misalnya, banyak pasangan lesbian yang tinggal satu rumah sebagai pasangan, come out kepada publik atau keluarga sebagi relasi persahabatan atau persaudaraan.
Akibat dari adanya label “tidak normal” tersebut individu lesbian cenderung untuk berusaha menyembunyikan identitas seksualnya dari lingkungan sosialnya. Hal tersebut membuat kaum gay dan lesbian menjadi semakin eksklusif dan menjadi sebuah misteri bagi masyarakat awam. Oleh karenanya masyarakat hanya bisa meraba dan menilai dengan berbagai macam stigma dan pemikiran negatif yang berkembang dalam masyarakat luas. Kaum homoseksual harus tinggal, bergaul, dan berinteraksi dengan berbagai macam individu yang ada di dalamnya. Hal tersebut membuat kaum lesbian semakin membuat perilaku-perilaku perlindungan diri agar tetap bisa diterima oleh keluarga dan lingkungan masyarakat sekitarnya, misalnya penyamaran atau menyembunyikan identitas seksualnya terhadap keluarga dan atau lingkungan sosialnya. Tidak hanya dari lingkungan dekat saja, bahkan pemerintah negara dan media yang berfungsi sebagai pembentuk wacana bagi masyarakat pun memberikan pandangan negatif pada segala bentuk perilaku masyarakat homoseksual.
Variasi yang kompleks dalam masyarakat homoseksual masih jarang disadari, bahkan oleh masyarakat lesbian sekalipun. Hal tersebut dapat dipahami mengingat, sebagian dari kaum homoseksual masih enggan untuk membuka identitasnya, kadang malah hipokrit terhadap jati diri. Maklum, karena kebanyakan masyarakat awam masih banyak yang memiliki sifat diskriminasi pada kaum homoseksual.
Akhir-akhir ini angin globlalisasi nan bebas tak hanya membawa kebebasan dari sisi teknologi dan informasi saja. Angin kebebasan globalisasi juga memberikan pengaruh terhadap kebebasan kepada orang-orang untuk lebih lantang menyuarakan isi hatinya, tak terkecuali bagi kaum-kaum minoritas seksual. Salah satu diantara kelompok masyarakat tersebut adalah kaum gay dan lesbian, mereka menginginkan juga kebebasan dalam berekspresi. Maka saat ini banyak juga kaum gay dan lesbian yang dengan berani membuka identitas seksualnya kepada masyarakat luas. Banyak dari mereka yang akhirnya menjadi pejuang hak asasi bagi kaumnya. Ada pula gay dan lesbian yang membuka diri hanya kepada kaum homoseksual saja dan tidak kepada lingkungan yang lain.
Dibukanya identitas seksual kaum gay dan lesbian pastilah telah didasari pemikiran yang matang dari dalam diri gay dan lesbian itu sendiri. Baik itu dibuka kepada masyarakat luas seperti yang telah dilakukan artis ibu kota ternama beberapa waktu lalu di media massa elektronik nasional, maupun yang hanya membuka identitas seksualnya hanya kepada keluarga atau hanya komunitas gay dan lesbian saja. Bahkan ada juga yang telah mengidentifikasi diri sebagai seorang gay dan lesbian, tapi tidak pernah membuka identitas tersebut kepada siapapun bahkan kepada komunitas gay dan lesbian sekalipun.
Setiap individu memiliki sejumlah identitas peran -salah satunya adalah identitas peran seksual. Pelaksanaan peran (role performance) dan tingkat dukungan sosial akan membantu menentukan pentingnya suatu identitas peran tertentu dalam konsep diri seseorang secara keseluruhan. Definisi-definisi subyektif tidak terbatas pada benda-benda dalam lingkungan eksternal. Salah satu masalah definisi yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang lain dimana mereka terlibat didalamnya. Definisi individu mengenai diri ini akan melahirkan identitas diri.
Oleh karena itu keberadaan kaum homoseksual dapat dikatakan seperti fenomena gunung es. Gay dan Lesbian yang tampak hanya menunjukkan sebagian kecil dari komunitas gay dan lesbian (puncak es), tidak menunjukkan populasi homoseksual yang ada. Sebagian besar bagian gunung yang lain berada di bawah air dan tidak nampak dari permukaan. Seperti itu juga komunitas gay dan lesbian yang lain, mereka lebih nyaman dengan menutup identitas mereka dari lingkungannya.
- C. DUA TEORI BESAR SEKSUALITAS
Membicarakan mengenai seksualitas dan homoseksulitas, tentu tidak lepas dari adanya peran teori. Mewacana seksualitas akan berhadapan dengan dua teori besar yang berkembang selama ini. Dua teori tersebut adalah teori esensialisme (essensialism) yang berpatokan pada kromosom, biological. Satu lagi teori social construction (teori bentukan sosial). Keduanya memiliki penganut masing-masing dan dalam tulisan ini saya tidak ingin membahas terlalu dalam mengenai teori mana yang lebih baik.
Definisi-definisi subyektif tidak terbatas pada benda-benda dalam lingkungan eksternal. Salah satu masalah definisi yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang lain dimana mereka terlibat didalamnya. Definisi individu mengenai diri ini akan melahirkan identitas diri. Individu tidak hanya memiliki identitas tunggal melainkan setiap individu memiliki berbagai identitas yang harus berjalan saling selaras, dengan identitas yang lainnya dan dengan peran yang dimilikinya.
Beberapa meyakini identitas seksual yang dimiliki seseorang (untuk menjadi homoseksual, heteroseksual atau biseksual) tersebut merupakan bawaan dari lahir (given), yang tidak dapat diubah-ubah lagi, sehingga mereka tinggal menjalani saja apa yang menjadi. Pandangan itu biasa disebut dengan teori esensialisme (essensialism), bahwa hal yang menyebabkan munculnya perilaku seksual sejenis di karenakan memang individu tersebut memiliki gen yang berbeda dengan laki-laki lainnya, yang mempengaruhi orientasi seksualnya. Ditemukannya teori ini sangat disukai oleh para aktivis advokasi, dan HAM, dan bagi kaum homoseksual sendiri, serta keluarganya. Mereka merasa “ke-homo-an” tersebut bukan salah mereka, atau orang tua yang tidak mendidiknya dengan benar.
Eksplorasi dari pemikiran Moh Yasir Alimi dalam bukunya yang mengkonstruk gagasan bahwa menjadi heteroseksual atau homoseksual bukanlah kodrat, melainkan bentukan sosial. Tentu saja pandangan ini bila tidak dipahami secara menyeluruh, bisa menjadi ganjalan bagi para pejuang HAM yang mendasarkan argumennya pada kealamiahan seksualitas. Seksualitas sebagai praktik diskursif mengasumsikan bahwa seksualitas selalu direproduksi melalui institusi sosial – seperti agama – sedemikian rupa sehingga seolah-olah heteroseksualitas adalah praktik seksual yang alami, sehingga praktik seksual lain dianggap sebagai penyimpangan. Pendekatan ini tentu saja tidak mengasumsikan bahwa seksualitas bisa seperti kerudung yang bisa dipilih, atau bisa dipakai dan dilepas bila diinginkan.
Dekonstruksi menjadi keharusan karena kebekuan seksualitas telah mencapai titik yang hampir tidak dapat ditembus. Dekonstruksi dapat berguna untuk mengaduk-aduk, menembus dan menjungkirbalikkan kebekuan itu. Diyakini secara luas dalam berbagai diskursus seperti medis, keagamaan, psikologi, dan ilmiah, bahwa seksualitas adalah given dan alamiah (a natural force) yang mendahului kehidupan sosial dan membentuk institusi. Esensialisme seksual yang demikian itu menganggap seks itu tidak berubah, asosiasi dan transhistoris dianggap sebagai salah satu penjelasan yang sah agamis tentang seksualitas. Bahwa seksualitas merupakan sebuah konstruk sosial (socially constructed), bukan fakta kromosomik biologis, merupakan sebuah menifesto terbesar abad ini. Secara mendasar, sikap pemikiran ini, tidak diragukan lagi, menggugat ortodoksi teoretik tentang seksualitas, yang seluruh prinsip-prinsipnya didasarkan pada esensialisme seksual (sexual essentialism), yaitu paham yang mengganggap seksualitas merupakan fenomena biologis, kenyataan alamiah yang melampaui kenyataan sosial. Seperti yang digambarkan Foucault sebagai akibat relasi penguasa-pegetahuan-kenikmatan (power-knowledge-pleasure relation). Heteroseksualitas bukan hanya didirikan atas naturalisasi dan pelipat gandaan tingkah laku seksual yang prokreatif, melainkan juga patologisasi, abnormalisasi, setiap bentuk praktik seksual yang non-prokreatif, seperti onani, masturbasi, dan homoseksualitas.[4]
Seksualitas dengan demikian dipandang sebagai sesuatu yang tidak berubah (externally unchanging), asosial, dan transhistoris. Seksualitas dianggap tidak ada hubungannya dengan sejarah dan perubahan sosial, karena ia bersumber pada hormon, psike dan hukum Tuhan. Dalam model penjelasan yang dominan ini seksualitas adalah kekayaan pribadi dan oleh karenanya bersifat fisiologis dan psikologis.
Dalam pemikiran Foucault, setiap orang dilahirkan sebagai biseksual. Akan menjadi apa dia nanti tergantung pada pendidikan seksual yang dilakukan lingkungannya. Dalam arti apakah dia akan menjadi homoseksual, biseksual atau heteroseksual sekalipun. Dalam hal ini perlu digarisbawahi, bahwa apa yang disebut sebagai heteroseksual bukanlah manipulasi gen, tetapi akibat dari proses sejarah dan kebudayaan.
Dengan demikian pendekatan konstruksionis ini sama sekali tidak berubah tentang seksualitas. Seksualitas sama halnya dengan konstruk sosial lainnya, sangat terikat dengan sejarah, konteks, dan kebudayaan. Sangat sederhana. Dari sejarah seksualitas saja, misalnya, relatifitas ini dapat terlihat. “seksualitas” sendiri misalnya, adalah sebuah makhluk modern, yang di Barat baru muncul istilahnya pada abad XIX. Sejak tahun 1880-an melalui ilmu kedokteran, psikologi, hukum dan sebagainyalah persoalan-persoalan tentang seksualitas dijelaskan dan dilipatgandakan. Oleh karena itu seksualitas perlu dijelaskan dengan cara yang lain yang lebih kondusif bagi demokrasi dan keadilan sebenarnya.[5]
- D. SEKSUALITAS GAY DAN LESBIAN
Berbicara mengenai seksualitas gay dan lesbian selalu mencakup orientasi seksual, perilaku seksual, dan identitas seksual.
- Orientasi Seksual
Orientasi Seksual adalah rasa ketertarikan secara seksual maupun emosional terhadap jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual ini dapat diikuti dengan adanya perilaku seksual atau tidak. Misal seseorang perempuan yang tertarik dengan sejenis namun selama hidupnya dia belum pernah melakukan perilaku seksual dengan perempuan, maka ia tetap dikatakan memiliki orientasi seksual sejenis.
Menurut Swara Srikandi Indonesia (Asosiasi Lesbian dan Gay Indonesia), orientasi seksual merupakan salah satu dari empat komponen seksualitas yang terdiri dari daya tarik emosional, romantis, seksual dan kasih sayang dalam diri seseorang dalam jenis kelamin tertentu. Tiga komponen seksualitas adalah jenis kelamin biologis, identitas gender (arti psikologis pria dan wanita) dan peranan jenis kelamin (norma-norma budaya untuk perilaku feminin dan maskulin).
Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual karena berkaitan dengan perasaan dan konsep diri. Namun dapat pula seseorang menunjukkan orientasi seksualnya dalam perilaku mereka.
1.1 Jenis-Jenis Orientasi Seksual
Tiga jenis orientasi seksual yang ada saat ini, adalah:
- Heteroseksual
Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis.
- Biseksual
Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis dan sesama jenis.
- Homoseksual
Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari sesama jenis. Pria homoseksual disebut gay dan perempuan homoseksual disebut dengan lesbian.
1.2 Hubungan antara Orientasi Seksual, Gender dan Seks
Hubungan antara orientasi seksual, gender dan seks, dapat digambarkan dengan matriks sebagai berikut:
Matriks 1. Orientasi Seksual, Gender dan Seks
Seks Betina Hermaphrodite jantan
(Biologis)
Gender Feminin Androgin Maskulin
Seksualitas Biseksual Heteroseksual Homoseksual Selibat
(Orientasi Seksual)
Seks adalah kategori biologis; Gender dan orientasi seksual adalah kategori sosial maupun psikologis. Seksualitas berkaitan dengan genitalis dan organ seks sekunder. Setiap kategori merupakan spektrum keberlanjutan atau kontinum (arah horizontal) dimana terletak subkategori seperti matriks tersebut.
1.3 Skala Orientasi Seksual
Berdasarkan skala Kinsey, skala orientasi seksual itu bergradasi sebagai berikut:
0 = heteroseksual eksklusif
1 = heteroseksual lebih menonjol (predominan), homoseksualnya cuma
kadang-kadang.
2 = heteroseksual predominan, homoseksual lebih dan kadang-kadang.,
3 = heteroseksual dan homoseksual seimbang (biseksual)
4 = homoseksual predominan, hetaroseksual lebih dari kadang-kadang.
5 = homoseksual predominan, heteroseksual cuma kadang-kadang.
6 = homoseksual eksklusif
Dari skala tersebut, terlihat homoseksual mempunyai berbagai bentuk. Hal yang sama juga terjadi pada heteroseksual. Selain itu ada pula yang disebut biseksual. Namun, tidak mudah untuk mengetahui seseorang biseks atau tidak. Seorang biseks sejati (melakukan hubungan seksual nyata baik dengan sesama jenis maupun dengan lain jenis) jarang sekali ditemukan. Yang biasa ditemukan adalah pria biseks yang menyukai sifat kelaki-lakian seorang wanita sekaligus menyukai sifat kewanita-wanitaan pria setipe wanita yang disukainya. Terdapat pula pria biseks yang cenderung homoseks, tetapi tertarik pada wanita dengan sifat yang sama dergan pria yang disukainya.
- Perilaku Seksual
Perilaku Seksual yaitu segala perilaku yang dilakukan karena adanya dorongan seksual. Pada konsep ini tidak peduli bagaimana dan dengan siapa atau apa dorongan itu dilampiaskan. Apa bila perilaku tersebut muncul karena adanya dorongan seksual, maka disebut perilaku seksual.
Perilaku seksual adalah perilaku yang berhubungan dengan fungsi-fungsi reproduksi atau perilaku yang merangsang sensasi dalam reseptor-reseptor yang terletak pada atau disekitar organ-organ reproduksi. Perilaku seksual seseorang juga dapat dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain, oleh lingkungan dan kultur dimana individu tersebut tinggal.
Perilaku seksual dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
- a. Seks Penetratif
1) Seks Vaginal
2) Seks anal
Hubungan seks dengan penetrasi kepada anus pasangannya
3) Seks Oral
a) Oro-Penile (Fellatio)
Sexualoralisme (suatu keadaan dimana kepuasan didapat dengan menggunakan bibir, mulut dan lidah kepada organ genetalia pasangannya) yang dilakukan untuk melakukan rangsangan ke penis (Ambarwati, 2004).
b) Oro-Vulva (Cunnilingus)
Sexualoralisme yang dilakukan dengan cara melakukan rangsangan ke vagina.
c) Oro-Anus (Anilungus)
Sexualoralisme yang dilakukan dengan cara melakukan rangsangan ke anus.
4) Seks dengan alat yang dimasukkan
- b. Seks non penetratif
1) Seks Manual
2) Seks dengan sentuhan/kontak badan
3) Seks dengan alat yang tidak dimasukkan.
4) Seks Sado-Masochist (S&M)
5) Melihat pornografi
6) Seks Fantasi
7) Seks lewat telepon/intemet
Kemungkinan terjadinya Infeksi Menular Seksual dapat terjadi melalui adanya perilaku seksual. Hal tersebut dapat dijelaskan pada tabel berikut.
Tabel 1.
Perilaku Seksual dan Jenis Infeksi Menular Seksual yang Mungkin Terjadi
No |
Perilaku Seksual |
Jenis Infeksi Menular Seksual |
1 |
Kontak badan | Kutu pubis |
Scabies/kudis
Infeksi jamur
2
Onani/MastrubasiLuka lecet
3
Oro-Penile, reseptif/penerima
(menghisap penis pasangan seksual)Luka lecet
Gonore di mulut
Herpes di mulut
Infeksi di kerongkongan bukan gonore (Chlamydia, dan lain-lain)
Wart/jengger di mulut
Sipilis
Hepatitis B
Infeksi saluran pencernaan
L.G.V
Chancroid di mulut
4
Fellatio, insertif/pemberi
(memasukkan penis pada mulut pasangan seksual)Luka lecet
Herpes di alat kelamin
Infeksi saluran kemih bukan gonore
Infeksi saluran kemih oleh gonore
Infeksi saluran kemih oleh meningokus
5
Dubur, insentif/pemberi
(memasukkan penis ke dubur pasangan seksual)Infeksi saluran kemih bukan gonore
Infeksi saluran kemih oleh gonore
Herpes di alat kelamin
Kutil (Molluscum contagiosum)
Wart/jengger
Sifilis
Infeksi trikomonas
Peradangan kelenjar epididimis dan/atau prostate
Infeksi jamur
L.G.V.
Donovanosis
Chancroid
Hepatitis B
HIV/AIDS
6
Dubur, reseptif/penerima
(pasangan seksual memasukkan penisnya ke dalam dubur)Peradangan dubur oleh karena gesekan
Gonore di dubur
Wart/jengger di anus
HIV/AIDS
Kutil (molluscum contagiosum)
Infeksi di dubur bukan gonore
Herpes di daerah dubur
Sifilis di daerah dubur
Hepatitis B
L.G.V.
Donovanosis di daerah dubur
Infeksi C.M.V
Infeksi jamur
7
Anilingus (dubur-anus)Infeksi saluran pencernaan
Hepatitis A, Hepatitis B dan hepatitis C
Disentri
Typhus
Penyakit cacingan
Berbagai penyakit infeksi di mulut
Wart/jengger
Gonore di mulut
Sifilis
L.G.V
Donovanosis di mulut
Chanchoid di mulut
HIV/AIDS
Herves di mulut
Infeksi meningokokus di dubur
8
Perilaku seksual dengan jari atau bagian tangan lainnya; reseptif/penerima (pasangan seksual memasukkan jari/tangannya ke dubur/anus)Berbagai penyakit infeksi saluran pencernaan
- Identitas Seksual
Identitas seksual adalah apa yang orang katakan mengenai kita berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual kita, kita benarkan dan percaya sebagai diri kita. Sehingga identitas tersebut harus diakui oleh aktor sendiri sebagai identitasnya. Jika seseorang laki-laki atau perempuan melakukan perilaku homoseksual, belum tentu dia mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian. Dan hal tersebut sah-sah saja. Identitas seksual seseorang terbagi menjadi 3 golongan besar di dunia, yaitu homoseksual, heteroseksual, dan biseksual. Dari golongan homoseksual, masih dibagi lagi menjadi dua yaitu gay dan lesbian.
Pada bagian ini membahas tahap-tahap pembentukan identitas dalam model ini memberi kita kerangka untuk membantu pemahaman. Identitas minoritas (gay dan lesbian) yang disandang seksual individu tidak serta-merta muncul dan diterima begitu saja oleh individu tersebut. Identitas tersebut muncul melalui tahap-tahap perkembangan identitas homoseks. Model ini tidak dimaksudkan untuk mewakili proses membuka diri bagi semua individu. Orang akan berkembang melalui tahap-tahap ini pada waktu yang berbeda-beda. Sebagian akan tetap pada tahap-tahap tertentu, sementara yang lain akan kembali ke tahap-tahap sebelumnya. Sementara masyarakat menjadi kian paham akan homoseksualitas, tahap-tahap ini akan berubah dan modelnya harus ditinjau kembali.
- a. Kebingungan Identitas
Membuka diri bermula ketika individu menjadi sadar bahwa pikiran, perasaan, dan perilakunya bertentangan dengan cara bagaimana dia diajar untuk memandang dirinya (sebagai heteroseks). Perasaannya yang baru dapat disebut homoseks atau biseks. Dia mulai memandang bahwa homoseksualitasnya relevan secara pribadi.
Karena perasaannya bertentangan dengan identitas yang dibayangkannya sebelumnya, dia akan mengalami kebingungan dan keresahan. “Siapa diriku ini?” merupakan pertanyaan yang menghantui. Dia akan amat merasa dirinya terkucil dan meragukan dirinya. Apabila dia mulai menerima perasaan baru ini, secara sembunyi-sembunyi dia mungkin mencari informasi. Kalau dia menolak atau menentang homoseksualitasnya, identitas yang negatif atau penuh benci diri dapat mulai berkembang.
- b. Perbandingan Identitas
Sembari menerima homoseksualitasnya, individu ini menyadari perbedaan antara dirinya dan orang lain. Dia akan merasa terkucil dari orang-orang lain dan punya perasaan kuat tidak merupakan bagian masyarakat, keluarga, atau sahabat-sahabat. Dia akan merasa hilang dan kesepian sementara semua harapannya tentang perilaku dan masa depan yang menyertai identitas heteroseks yang diandaikannya diragukan dan tidak ada alternatif yang jelas.
Pertanyaan “siapa diriku ini?” kini bergabung dengan “masuk mana aku ini?” karena menjadi lesbian acapkali dipersamakan dengan seks yang menyimpang, perilaku yang kebanci-bancian, penyakit jiwa dan lain-lain, dia mungkin bereaksi melawan dorongan menjadi lesbian.
- c. Toleransi Identitas
Penerimaan individu terhadap homoseksualitasnya membawa dua konsekuensi:
1) kebingungan dan keresahan berkurang, sehingga dia dapat mengakui keperluan sosial, seksual, dan emosinya.
2) Perbedaan antara bagaimana dia memandang dirinya dan bagaimana orang lain memandang dirinya bertambah. Perbedaan ini meningkatkan perasaannya bahwa dia terkucil dari pergaulan. Umumnya individu akan mencoba bergaul dengan lesbian lain dan mempertimbangkan memberitahu keluarga dan sahabat-sahabat bahwa dirinya lesbian untuk mengurangi rasa terkucil ini.
Banyak orang mengalami rasa takut untuk waktu yang lama, takut “ketahuan” dan ditolak. Penderitaan pribadi berkurang, dan harga diri menjadi makin kuat dari reaksi positif yang diperoleh ketika memberitahu orang lain. Reaksi negatif mengakibatkan perasaan negatif makin buruk dan menurunkan harga diri.
Memberitahu orang lain sepatutnya dan biasanya, dilakukan orang per orang. Cara ini kurang beresiko dan lebih mudah ditangani. Dengan kian banyaknya reaksi positif, kebingungan berkurang dan memungkinkan perkembangan ketrampilan-ketrampilan sosial yang baru.
- d. Penerimaan Identitas
Kini individu dapat memndang identitas gay dan lesbian-nya secara positif. Pergaulan yang makin luas. Tetapi, identitasnya belum diketahui umum, dan dia mengambil strategi menyesuaikan diri ke dalam masyarakat sementara juga mempertahankan identitas gay dan lesbian. Hal ini dapat merupakan kompromi yang pas dan pantas bagi banyak orang, dan banyak orang lesbian yang memilih untuk tetap pada titik ini saja.
Dia dapat juga kini melakukan hal-hal yang tak dapat dilakukannya sewaktu masih remaja karena terkucil dari masyarakat, seperti misalnya cinta pertama. Hubungan-hubungan pertama mungkin sulit, karena tak ada dukungan sosial dan sedikit teladan peran. Berkembang suatu sintem segitiga antara dirinya, keluarga gay atau lesbiannya yang baru, dan keluarga asalnya. Bagaimana antar hubungan ketiganya akan tergantung pada derajat penerimaan.
- e. Kebanggaan Identitas
Sementara individu berusaha hidup terbuka dan jujur sebagai seorang gay atau lesbian, dia akan menjadi semakin sadar akan harapan masyrakat terhadapnya untuk menjadi heteroseks atau tetap tersembunyi. Dia akan merasakan pertentangan antara komitmen pada dirinya sendiri serta orang-orang lesbian lain dan penolakan masyarakat terhadap homoseksualitas. Hal ini dapat mengakibatkan suatu perasaan kebanggaan lesbian. Dia dapat mengembangkan suatu komitmen yang kuat terhadap budaya dan komunitas lesbian serta suatu rasa amarah terhadap penolakan masyarakat.
Keterbukaan yang meningkat tentang orientasi seksualnya akan menguji derajat penerimaan pada orang-orang dan lingkungan di seputar individu. Mungkin akan ada amarah dan reaksi kuat, karena alasan yang tepat, terhadap diskriminasi negatif yang ditemuinya. Sebagian keluarga dan sahabat-sahabat tidak akan memahami atau menerima pada tahap ini. Dalam situasi-situasi tertentu, ini dapat memaksa individu membuat komitmen.
- f. Sintesis Identitas
Pergaulan terbuka dengan orang-orang heteroseks yang menerima identitas seksualnya memungkinkan individu memperluas rasa keanggotaannya sehingga mencakup masyarakat luas. Akan tetapi penerimaan pribadi akan diri individu dapat dicapai sepenuhnya. Pada tahap ini identitasnya menjadi terintegrasi dengan semua aspek dirinya yang lain.
Dia mungkin tidak akan pernah memberitahu sahabat-sahabat dan anggota keluarganya tentang homoseksualitasnya, sementara yang lain yang diberitahunya mugkin tidak akan pernah menerimanya. Situasi ini harus dipahami sepenuhnya dan diterima olehnya agar dia berhasil mengembangkan pribadinya. Pada tahap ini identitas sebagai gay dan lesbian tidak lagi menjadi persoalan, yang menjadi persoalan adalah bagaimana melanjutkan hidup. Adakalanya individu untuk tidak mengungkap identitas seksualnya, bukan lagi karena takut ditolak, namun demi alasan praktis tidak ingin repot-repot menghadapi ataupun menanggapi situasi yang tidak diingginkan.[6]
Ketika seorang gay dan lesbian menutupi diri rapat-rapat soal orientasi seksualnya, maka akan banyak yang beranggapan dia adalah seorang heteroseksual. Membuka diri (coming out) memang tidak mudah, memerlukan proses dan pertimbangan yang matang, tetapi kalau dia berani, bisa menjadi lebih baik meskipun biasanya akan kehilangan keluarga, teman-teman, pekerjaan, mengalami kekerasan dan pelecehan seksual dan lain-lain. Sisi baiknya kalau seorang gay dan lesbian membuka diri, justru akan dapat diterima dan memiliki ruang yang luas untuk mengekspresikan/ mengaktualisasikan diri. Karenanya seorang gay dan lesbian yang ingin membuka dirinya, dia harus mempersiapkan diri segala resiko yang mungkin terjadi.
- E. GENDER
Keberadaan kelompok gay dan lesbian di Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari masyarakat. Mereka kerap mendapatkan beragam bentuk ketidakadilan, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi, yang terjadi baik itu di dalam rumah, sekolah, tempat bekerja, tempat ibadah dan masyarakat sekitar.3
Mereka juga mendapatkan beragam stigma/label, seperti sebutan ”abnormal”, ”sakit”, ”dosa”, ”kotor”, dan lain-lain sebutan.
Kondisi ini menjadikan sebagian lesbian akhirnya lebih memilih menutup diri (in the closet) dan hidup dengan identitas yang bukan sesungguhnya dan hanya membuka jati diri di kalangan mereka sendiri. Di dalam ketertutupan, bukan berarti tidak ada reaksi dan aksi yang dilakukan baik oleh individu gay atau lesbian.
Bicara masalah seksualitas gay atau lesbian yang notabene adalah berbicara seseorang yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, maka hal ini terkait dengan konsep gender. Untuk memahami konsep gender, harus ada pembedaan antara konsep gender itu sendiri dengan konsep jenis kelamin (sex). Jenis kelamin (sex) merupakan pembagian dua jenis kelamin pada laki-laki dan perempuan yang ditentukan secara biologis dan memiliki sifat-sifat permanen yang tidak dapat berubah dan ditukarkan antara keduanya. Sifat tersebut merupakan kodrat yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap laki-laki dan perempuan.
Sedangkan gender menurut Mansour Fakih adalah pemilahan peran, fungsi, kedudukan, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang berfungsi untuk mengklasifikasikan perbedaan peran yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat, dan bersifat tidak tetap serta bisa dipertukarkan antar keduanya (Fakih, 2001: 8). Dalam kaitannya dengan ilmu sosial, gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk sosial yang tidak disebabkan oleh perbedaan biologis yang menyangkut jenis kelamin (Mc Donald, 1999).
Jadi menurut beberapa pendapat diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang didasarkan pada bentuk-bentuk sosial dan kultural masyarakat (peran, fungsi, kedudukan, tanggung jawab) dan bukan atas dasar perbedaan jenis kelamin (sex).
Perbedaan gender sering menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities), terutama terhadap kaum perempuan baik di lingkungan rumah tangga, pekerjaan, masyarakat, kultur, maupun negara. Ketidakadilan tersebut termanifestasi dalam berbagai macam bentuk antara lain :
- Marginalisasi
Marginalisasi adalah proses peminggiran / penyingkiran terhadap suatu kaum yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan pelemahan ekonomi kaum tertentu. Marginalisasi terjadi karena berbagai hal, seperti kebijakan pemerintah, keyakinan, agama, tradisi, kebiasaan, bahkan karena asumsi ilmu pengetahuan sekalipun.
- Subordinasi
Subordinasi merupakan penempatan kaum tertentu (perempuan) pada posisi yang tidak penting. Subordinasi berawal dari anggapan yang menyatakan bahwa perempuan adalah kaum yang irrasional atau emosional sehingga kaum perempuan tidak cakap dalam memimpin.
- Stereotipe
Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap kaum tertentu. Akan tetapi pada permasalahan gender, stereotipe lebih mengarah pada pelabelan yang bersifat negatif terhadap perempuan. Hal ini terjadi karena pemahaman yang seringkali keliru terhadap posisi perempuan.
- Kekerasan (violence)
Kekerasan (violence) adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Kekerasan karena bias gender disebut gender related violence. Kekerasan tersebut terjadi karena disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bentuk-bentuk kekerasan (violence) gender (terhadap perempuan) antara lain : pemerkosaan, serangan fisik dalam rumah tangga, kekerasan dalam pelacuran dan pornografi, pemaksaan dalam sterilisasi Keluarga Berencana (KB), serta pelecehan seksual.
- Beban kerja ganda (double burden)
Beban kerja ganda disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan lebih cocok mengurusi dan bertanggung jawab atas pekerjaan domestik (menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga, memasak, mencuci, bahkan memelihara anak). Pekerjaan domestik dianggap tidak bernilai dan lebih rendah bila dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki karena tidak produktif. Konsekuensi tersebut harus diterima oleh perempuan yang bekerja di satu sisi harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya, di sisi lain harus bisa bertanggung jawab atas rumah tangganya. Hal inilah yang menyebabkan bahwa bias gender menjadikan perempuan menanggung beban kerja yang bersifat ganda (Fakih, 2001 : 12-23)
- F. PENUTUP
Gay dan lesbian adalah istilah bagi laki-laki atau perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama jenis atau disebut juga laki-laki atau perempuan yang mencintai laki-laki atau perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Gay dan lesbian adalah seorang laki-laki atau perempuan yang penuh kasih.
Banyak laki-laki atau perempuan beranggapan bahwa mereka menjadi gay atau lesbian itu sejak lahir, sedangkan yang lainnya beranggapan bahwa itu merupakan suatu pilihan dalam kehidupannya. Homoseksualitas juga didefinisikan bukanlah sekedar faktor alamiah, tetapi lebih kepada masalah preferensi seksual berdasarkan pengalaman laki-laki atau perempuan yang tidak terjadi pada suatu titik spesifik dalam hidup seorang laki-laki atau perempuan. Itu bisa terjadi setiap saat, ketika beranjak remaja, dewasa, saat menjadi orang tua, ataupun di masa tua. Gay dan lesbian tidak mengenal kelas sosial, ia bisa jadi siapa saja, guru, perawat, model, aktris, agamawan, dan lain-lain.
Siapapun sebenarnya tidak perlu menjelaskan apakah kita lesbian atau bukan. Karena yang penting adalah menjadi diri sendiri, apa adanya. Bagaimana seseorang menjadi gay dan lesbian, adalah kehidupan yang sama dengan bagaimana seseorang menjadi bukan gay dan lesbian. Berbahagialah menjadi gay atau lesbian.
[1] Dosen Jurusan Sosiologi FISIP UNS, Ketua Program Studi S2 Sosiologi Program Pascasarjana UNS dan Pembina Yayasan Gessang Surakarta. e-mail : argyodemartoto@ymail.com. Telp : (0271) 668 170. Hp : 081548615662
[2] Moh. Yasir Alimi, 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama, Yogyakarta, LkiS, Hlm 9
[3] Ibid, Hlm. 38
[4] Alimi (2004), hlm 11
[5] Ibid, hlm. 22
[6] Paul Kinder, 1992, Coming Out: Stage Of Homosexual Identity Development, diterjemahkan oleh Dede Oetomo: HOMOLOGI: edisi Khusus GAYa NUSANTARA 2, 2007, hlm.13-17