MENGKAJI FENOMENA TERORISME DI Kota bengawan : Surakarta Dicap Sebagai Embrio Lahirnya Radikalisme

Jumat, 14/12/2012 06:00 WIB – Adilla Prasetyo Wibowo

http://cetak.joglosemar.co/berita/mengkaji-fenomena-terorisme-di-kota-bengawan-surakarta-dicap-sebagai-embrio-lahirnya-radikali

Aksi terorisme dapat menimbulkan keresahan di masyarakat, bahkan mampu
membawa petaka yang berdampak meluas. Mengapa Surakarta selalu dikaitkan
dengan kasus terorisme selama ini?
Adilla Prasetyo Wibowo
Menyikapi maraknya kasus terorisme di Kota Solo dan kabupaten sekitarnya baik
yang menyangkut jaringan pelaku maupun kejadian itu sendiri, membuat sejumlah
kalangan turut prihatin dan peduli.
Salah satu kepedulian itu datang dari para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Mereka pun
mengadakan penelitian yang kemudian hasilnya diseminarkan dengan mengangkat
tema “Urban Terorism: Pengaruh Gerakan Terorisme bagi Ketahanan Masyarakat
Kota dalam Kajian Sosiologi Perkotaan.”
Hadir sebagai pembicara adalah Dr Muhammad Najid Asca MA (pakar sosiologi
UGM), Dr Argyo Demrtoto MSi (Sosiolog UNS) dan Noor Huda Ismail (analis isu
terorisme). Sejumlah wacana muncul dalam seminar di Aula Fakultas Hukum UNS,
Kamis (13/12) tersebut.
Eks Karesidenan Surakarta atau khususnya Solo, oleh kalangan analis sosial,
dikatakan sebagai basis radikalisme, karena latar belakang sejarah. Di sini semua
kelompok radikal mendapat ruang yang memadai, tak terkecuali kekuatan
kelompok Islam yang juga mendapatkan ruang.
“Surakarta selama sekian tahun menjadi wilayah basis yang aman (safe based)
bagi aktivis islam di Indonesia dari berbagai kelompok,” ungkap Noor Huda Ismail.
“Sehingga Kota Solo dan sekitarnya seolah menjadi rumah yang nyaman bagi
banyak elemen aktivis Islam yang cenderung dicap radikal. Disokong dengan sisi
historis, di mana Solo dikenal sebagai embrio lahirnya gerakan Islam di masa
lalu.”
“Solo tidak hanya sumbu pendek politik, namun secara historis juga dikenal kuat
gerakan Islam di masa lalu. Bahkan ada sinyalemen yang mengatakan bahwa
Negara Islam Indonesia (NII) pernah tercetus di Solo yang pada tahun 1990an
bertransformasi menjadi Jamaah Islamiyah (JI),” tambah Noor Huda.
Dikatakan Huda, setidaknya ada tiga aspek signifikan yang membangun konstruksi
Kota Solo. Pertama adalah aspek sejarah. Dalam konteks perlawanan terhadap
komunisme di era paruh tahun 1960-an dan terus bergulir hingga pergolakan
politik antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islamis yang semakin masif
pascareformasi. Di mana kanal demokrasi membuka ruang kebebasan
menawarkan “nilai baru” Islam yang lugas.
Kedua, aspek kultural, dimana wong Solo mempunyai semangat perlawanan yang
tinggi terhadap status quo. pada 1997, awal tumbangnya Orde baru, Solo adalah
kota pertama yang terbakar dalam aroma kerusuhan sosial. Kemudian ketiga,
aspek globalisme Islam, dimulai dengan stigma ivy legue pesantren yang dituding
berasosiasi dengan Al Qaeda. “Stigma tersebut membawa persepsi yang kuat,
bahwa sebagai simpul jaringan internasional, Solo dan sekitarnya lantas dianggap
berbahaya,” kata Huda.
Sedangkan Dr Muhammad Najid Asca, mengatakan, keterkaitan antara kota dan
terorisme dapat dijawab dengan adanya risiko sosial dari hasil perkembangan
industri dan teknologi terhadap masyarakat perkotaan. Karakteristik masyarakat
kota yang cenderung individualis dan egois membuka celah bagi teroris untuk
beraksi.
Selain berdampak negatif berupa kerusakan fisik, mental dan sosial secara umum,
terorisme sendiri membawa dampak positif, yaitu munculnya refleksivitas yang
berwujud upaya mengatasi risiko, baik mengurangi atau bahkan mencegah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan para mahasiswa FISIP, disebutkan bahwa
masyarakat tak terancam dengan ulah terorisme yang bayak terjadi di kawasan
ini. “Konklusi dari penelitian kami, masyarakat Solo dan sekitarnya sudah tidak
merasa terancam dengan maraknya tindakan terorisme, hal ini yang menarik
untuk dikaji,” ujar mahasiswi sosiologi FISIP UNS, Irine Riskyana yang melakukan
penelitian mengenai aksi terorisme.
Acara diskusi diawali dengan pemutaran video testimoni masyarakat yang
bersinggungan langsung atau pun tinggal di kawasan dekat dengan lokasi kejadian
teror, serta beberapa pihak dan instansi yang terkait dengan penanggulangan
tindak kejahatan terorisme. Muhammad Asca juga menyoroti sejumlah peranan pesantren terhadap kelompok radikal Islam.