KOMUNITAS VIRTUAL SEBAGAI OBJEK KAJIAN SOSIOLOGI

KOMUNITAS VIRTUAL SEBAGAI OBJEK KAJIAN SOSIOLOGI

Dr. Argyo Demartoto, M.Si

 

  1. A.    Karakteristik Jaringan Internet

Pada dasarnya internet merupakan jaringan komputer yang sangat besar  yang terbentuk dari jaringan-jaringan kecil yang ada di seluruh dunia  yang saling terhubung satu   sama   lain. Jaringan   internet   sukses dikembangkan   dan   diuji coba   pertama   kali   pada   tahun   1969   oleh   U.S Departement of Defense dalam proyek ARPNet (Advanced Research Projects Network). Sejak itu perkembangan internet berlangsung sangat pesat. Salah satu faktor  yang berkontribusi pada menjamurnya pemakaian internet di seluruh belahan dunia adalah perkembangan World Wide Web (WWW) yang dirancang oleh Tim Berners Lee dan staf ahli dari laboratorium CERN (Conseil Europeen pour la Recherche Nucleaire) di Jenewa (Swiss) pada tahun 1991.

Pada mulanya, jaringan internet dikembangkan sebagai saluran khusus untuk aktivitas riset dan keperluan para akademisi. Namun dalam perkembangannya, internet dieksploitasi untuk berbagai keperluan lainnya, termasuk untuk keperluan bisnis. Internet itu sendiri sebenarnya adalah singkatan dari Interconnection Networking. Secara sederhana, internet bisa diartikan sebagai “a global network of computer networks” (Raharjo, 2002: 60)

Hampir setiap orang telah mendengar internet dan sebagian besar orang tahu bahwa www dan dotcom berhubungan dengan halaman web. Namun internet lebih dari sekedar alamat halaman web. Dengan internet, orang bisa membaca laporan berita terbaru, memesan tiket penerbangan, mendengarkan musik, mengirim dan menerima pesan elektronik, mendapatkan laporan cuaca, berbelanja, melakukan riset, dan banyak lagi. Internet juga menjadi sarana yang baik bagi masyarakat dalam pekerjaan, di rumah maupun di tempat-tempat pelayanan publik lainnya.

Daya tarik yang dimiliki oleh internet yang membuatnya sangat populer sebagai media komunikasi, hiburan dan bisnis adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan keunggulan internet, diantaranya dalam hal kenyamanan (bisa diakses kapanpun oleh siapapun dan dimanapun), konektivitas dan jangkauan global, efisiensi interaktivitas, fleksibilitas, alternatif ruang maupun pilihan yang relatif  tak terbatas, personalisasi sumber informasi potensial (asal tahu bagaimana dan dimana mendapatkannya) dan lain-lain. Namun, mungkin faktor yang paling berkontribusi pada maraknya penggunaan internet secara global, termasuk Indonesia adalah 4C (Chatting/Communication, Career, Cyberporn dan Commerce) (Tjiptono, 2000 : 19).

Kapabilitas utama internet antara lain: e-mail berfungsi untuk mengirim pesan (surat elektronik) antar pribadi; usenet newsgroup sebagai kelompok diskusi di electronic bulletin boards; listserv merupakan kelompok diskusi yang menggunakan e-mail mailing list servers; chatting yakni percakapan interaktif melalui internet dan telnet untuk masuk ke sistem komputer tertentu dan bekerja pada sistem komputer yang lain. Selain itu ada pula FTP (File Transfer Protocol) yang berfungsi untuk mentransfer file dari satu komputer ke komputer lain; gophers untuk menempatkan informasi yang disimpan pada internet servers dengan menggunakan hirarki menu serta www (world wide web) untuk mengambil, memformat dan menampilkan informasi (termasuk teks, audio, grafik dan video) dengan menggunakan hypertext links.

Internet mampu mengatasi hambatan jarak, waktu dan ruang. Internet memiliki karakteristik interactivity. Dalam dimensi interaktivitas ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh teknologi informasi ini, antara lain: bidirectionality, quick response, bandwidth, user control, amount of user activity, ratio of user to medium activity, feedback transparancy social presence, dan artificial intelligence. (Jaffe, 1995: 3). Jadi peranan internet sebagai media baru dengan keunggulan interaktif dan membangun hubungan secara personal, kelompok maupun massa.

Mailing list misalnya merupakan sebuah fasilitas dalam internet untuk melakukan komunikasi. Pada dasarnya mailing list merupakan kumpulan dari electronic mail atau yang lebih dikenal dengan e-mail. Mailing list sebagai wadah e-mail dalam internet, memberikan kemudahan bagi pengguna internet untuk berinteraksi secara personal maupun kelompok sehingga pada akhirnya e-mail merupakan sebuah sarana yang dapat mengukuhkan keberadaan komunitas virtual (virtual community) dalam internet.

Pavlik memberikan gambaran peranan e-mail yang mampu menyatukan komunitas-komunitas tertentu dalam sebuah jaringan virtual. Pada dasarnya mereka membangun isu-isu tertentu dalam sebuah jaringan virtual, membagi dan menuangkan perasaan mereka mengenai isu yang tengah diperbincangkan. (Pavlik, 2003: 312)

Internet memiliki makna artifisial intelligence dan bersifat cair. Artinya teknologi internet merupakan teknologi yang bertumpu pada realitas virtual yang bersifat hybrid dan bekerja pada level representasi atau pencitraan. Sementara itu, setiap orang yang tergabung didalamnya bisa keluar masuk didalamnya. Pengguna bisa mengakses internet, mengirim dan menerima pesan kapan pun sesuai keinginan mereka. Jadi teknologi internet membiarkan seseorang untuk berhubungan satu dengan yang lain bertukar kualitas personal mereka. Hubungan pertemanan dan relasi yang bersifat romantis dapat terjalin meski ekstrim sekalipun dimana secara tradisional hal ini sulit dilakukan.

Akan tetapi menurut Lewis juga terdapat kekurangan menjalin relasi dalam internet. Menurutnya hal ini disebabkan seseorang tidak dapat melihat orang yang sedang diajak bercakap, terkecuali jika mereka bertukar foto atau pernah bertemu secara langsung. Dan terkadang foto pun tidak menjamin bahwa foto yang ditampilkan memang nyata foto yang bersangkutan. Sehingga untuk memperoleh kebenaran konfirmasi sangat sulit dilakukan (De Vito, 2003 : 183).

Dalam dunia maya (online) orang juga bisa membuat kesalahan dengan sedikit resiko, seperti pertukaran identitas yang sulit untuk dilacak. Yang lainnya adalah interaksi melalui komputer membuat seseorang bisa berubah menjadi “unforgiving” dari segala kekurangan yang bisa diperlihatkan oleh orang dalam kehidupan nyata karena dalam online seseorang akan diberi pilihan lebih banyak. Saat seseorang merasa tidak cocok bercakap dengan orang didepannya maka ia akan beralih ke orang lain (De Vito, 2003 : 184). Hasilnya seseorang hanya akan menghabiskan waktu di depan komputer untuk mencari sesuatu yang sempurna yang mungkin tidak akan pernah ada. Tidak seperti kehidupan nyata ketika seseorang  berhubungan dengan orang lain dan mendapati mereka memiliki kekurangan maka mereka akan memberi pemakluman alih-alih menyerah pada hubungan itu atau mencari orang lain yang lebih sempurna.

 

  1. B.     Komunitas Virtual Dalam Dunia Maya

Konsep komunitas dan masyarakat saling tumpang tindih. Istilah masyarakat adalah istilah yang umum bagi satu kesatuan hidup manusia, karena itu bersifat lebih luas dari pada istilah komunitas. Koentjaraningrat mengungkapkan arti komunitas merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan yang berinteraksi  menurut suatu sistem adat istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. (Koentjaraningrat, 1965: 65)

Komunitas memiliki makna yang lebih khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah. Sedangkan menurut Fernback  definisi tentang komunitas juga memiliki definisi yang bersifat fungsional dan simbolik. Kita sering mengelompokkan diri kita ke dalam bagian wilayah secara fisik yang disebut dengan komunitas urban, pedesaan, suburban, dan juga kita sering mengelompokkan diri kita secara simbolik berdasarkan gaya hidup identitas atau karakter yang pada perkembangan berikutnya kita sebut juga dengan komunitas. Sehingga berdasarkan fungsi dan gaya hidup itu kita bisa menemukan komunitas agama, komunitas hobi, komunitas filosof atau bahkan komunitas virtual. (Jones, 1999: 203).

Gaya hidup modern yang serba praktis ternyata membawa dampak terhadap perilaku masyarakatnya. Kehadiran perangkat teknologi yang serba canggih mampu mengambil alih peran sosial manusia sebagai bagian dari masyarakat. Terbentuknya komunitas-komunitas online dalam masyarakat perkotaan merupakan contoh dari fenomena pergeseran makna sosial dalam kehidupan masyarakat modern. Komunitas Cyber, mungkin itulah penggambaran yang relatif pas untuk komunitas ini. Melalui media internet interaksi sosial dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja tanpa harus bertatap muka secara langsung. Komunitas ini sudah jamak bagi masyarakat perkotaan.

Jika dicermati, komunitas-komunitas ini terbentuk berdasarkan kesamaan minat para anggotanya. Mulai dari yang paling serius, seperti komunitas ilmiah atau komunitas budaya sampai dengan yang paling ringan seperti hobi. Sebut saja komunitas Bis Mania yang mengakomodasi para pecinta dan pengguna salah satu moda transportasi darat ini. Menjamurnya komunitas-komunitas online ini mencerminkan bahwa masyarakat modern cenderung hidup terkotak-kotak dalam minat dan perhatian masing-masing. Boleh jadi, ini adalah gaya hidup baru masyarakat modern.

Jadi esensi komunitas menurut Williams tidak hanya terletak pada pondasi yang didasarkan pada lokasinya saja tetapi juga terletak pada “kualitas dalam mempertahankan kesepakatan bersama dalam kepentingan komunitas itu sendiri, kebutuhan akan komunitas itu sendiri rasa identitas bersama dan kesamaan karakter yang dimiliki”. Lebih lanjut Williams  menunjukkan definisi yang lebih merujuk pada ”proses” terbentuknya komunitas tersebut. Pengertian Williams tentang komunitas berdasarkan proses ini tidak ditunjukkan melalui entitas tetapi komunitas yang terbentuk lebih menunjukkan karakter elastis sebagaimana perkembangan dan kesepakatan akan berbagai elemen yang menghasilkan makna simbol-simbol baru secara leksikal dan kebertahanannya dalam menghadapi tantangan-tantangan dari luar (Jones, 1999: 204)

Dalam dunia maya kita juga dihadapkan pada kesulitan dalam memberikan definisi tentang cyber community atau virtual community. Tetapi Fernback memberikan tiga konsep definisi tentang cyber community yakni:

  1. 1.    Community as Place, hal ini didasarkan pada pengertian bahwa cyber space merupakan sebuah tempat di mana komunitas dibangun dan bertahan, di mana hubungan sosial ekonomi baru dibentuk dan di mana horison baru bisa tercapai. Ide ini secara mendalam merupakan cerminan dari adanya unsur kejiwaan dan tradisi yang bisa kita dapatkan ketika mengidentifikasi komunitas berdasarkan tempat.
  2. 2.    Community as Symbol, seperti halnya komunitas pada umumnya komunitas cyber juga memiliki simbol-simbol tertentu dimana simbol-simbol yang ada dapat diinterpretasikan. Cakupan simbol disini menekankan pada “substansi yang dibentuk”. Komunitas berusaha untuk merekonstruksi simbol-simbol sebagai hasil dari kumpulan kode-kode yang bersifat normatif dan nilai-nilai yang dihasikan bersama oleh anggota komunitas sebagai bentuk identitas mereka. Penekanannya disini lebih pada “makna” daripada “struktur”.
  3. 3.    Community as Virtual artinya komunitas ini secara maya dalam ruang cyber dengan meninggalkan identitas fisik penggunanya. Cyber community memiliki sistem nilai bersama, norma-norma, aturan-aturan dan identitas bersama yang ditunjukkan dari komitmen atau kepentingan diantara komunitas lainnya.

(Jones, 1999:207-213)

 

  1. C.    Kode Etik Tidak Tertulis Dalam Komunitas Virtual

Interaksi dalam jaringan internet khususnya mailing list terlihat dalam bentuk pesan-pesan yang ditulis antara pengguna internet satu dengan pengguna internet lainnya. Dalam internet, meskipun ia adalah dunia tanpa batas yang memungkinkan setiap orang bisa mendapatkan  informasi yang diinginkan, namun tidak berarti dalam dunia maya tersebut tidak ada  kode etik. Dalam komunitas virtual terdapat kode etik tidak tertulis (netiquette) sebagai sarana untuk  mengatur agar tidak terjadi masalah. Netiquette memiliki fungsi yang sama dengan etiket yang ada di dalam lingkungan sosial manusia yaitu merupakan tata krama atau sopan santun yang harus diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik. (Shea, 2004:l).

Ada tiga prisip yang menjadi cakupan netiquette :

  1. Sumber informasi yang digunakan bersama. Meski merupakan sumber informasi yang tak terbatas, sebenarnya sumber-sumber tersebut dimiliki oleh orang lain. Karena itulah disini berlaku conserve bandwith saat melakukan aktivitas dengan internet, yang artinya jangan mengirim pesan yang terlalu panjang jika pesan pendek sudah cukup. Menggunakan program atau file yang sudah dikompres dan menggunakan sumber informasi terdekat adalah hal yang dianjurkan dalam prinsip ini.
  2. Perlindungan informasi, ini terkait dengan etos kerja di mana anda diharapkan untuk tidak menggunakan sumber informasi pada jam sibuk (memperlamban sistem ketika pemilik sumber informasi memerlukan). Atau jangan terlalu berlebihan saat menggunakan sumber informasi.
  3. Perilaku umum. Prinsip yang terakhir ini berkaitan dengan sikap hormat dan sopan sebagai pengguna internet kepada orang lain. Hal ini bisa diterapkan misalnya dengan:
    1. Mengirim surat pribadi dengan tidak lupa mencantumkan identitas pengirim secara lengkap dan tidak lupa untuk menulis subyek surat elektronik (e-mail) yang cukup menggambarkan isi surat keseluruhan.
    2. Tidak mengirim pesan yang sama ke banyak newsgroup atau mailing list (kelompok diskusi) karena hal ini merupakan pemborosan karena tidak semua orang membutuhkan informasi yang dikirimkan.
    3. Meneruskan surat berantai ke alamat e-mail lain. Kalau anda mengirim pesan yang tidak bermanfaat dan tidak dikenal sebaiknya langsung menghapus e-mail tersebut. Bukan malah meneruskannya ke alamat lain (Kompas, 17 Oktober 2005 : 45).

Lebih jelas lagi Shea (2004 : 1-10) dalam artikelnya yang berjudul The Core Rule of Netiquette memberikan sepuluh peraturan ketika berinteraksi dalam cyberspace :

 

Rule 1 : Remember The Human

Saat kita berinteraksi di cyberspace kita harus bisa membayangkan bahwa “sesuatu” yang kita ajak berkomunikasi di ujung sana adalah seorang manusia sama seperti kita. Seperti apa yang pernah diajarkan oleh orang tua atau guru kita yang sering mengatakan : jika dirimu tidak ingin disakiti oleh orang lain maka jangan sakiti mereka/meski kemungkinan kecil kita bisa melihat ekspresi wajah, tubuh maupun suara. Kemungkinan terjadinya kesalahpahaman diantara para partisipan sering terjadi, terutama bila kita berinteraksi dengan pengguna internet lain yang tak pernah kita temui dan berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Sehingga kita harus selalu ingat bahwa orang yang kita ajak berinteraksi juga manusia yang memiliki perasaan sama seperti kita.

 

Rule 2 : Adhere To The Same Standards of Behaviour Online That You Follow In Real Life

Cyberspace merupakan tempat yang memungkinkan orang untuk berbuat apa saja, karena kemungkinannya sangat kecil untuk memberikan sanksi-sanksi tertentu jika terjadi pelanggaran seperti memasuki area privacy orang lain atau juga menyakiti perasaan mereka, sehingga memungkinkan pengguna untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Sehingga asumsi ethics dalam dunia cyber lebih rendah dibandingkan dengan real life. Tetapi Shea menyanggah hal ini:

The confusion may be understandable, but these people are mistaken. Standards of behavior may be different in some areas of cyberspace, but they are not lower than in real life.

Rule 3 : Know Where You Are In Cyberspace

Ada baiknya kita mengetahui di mana ruang yang sedang kita pakai untuk berdiskusi. Misalnya ketika kita sedang mengikuti talk show untuk acara gosip tertentu mungkin di televisi akan sangat cocok jika kita melakukannya. Tetapi hal ini tidak akan pernah mendapat tanggapan jika kita sedang aktif dalam mailing list para jurnalis misalnya. Sehingga ada baiknya kita selalu memperhatikan identitas karakter dari ruang diskusi yang sedang kita ikuti. Karena satu topik tertentu yang banyak mendapat tanggapan luar biasa di satu tempat belum tentu terjadi hal yang sama di tempat yang lain.

 

Rule 4: Respect Other’s People Time and Bandwidth

Ada kalanya pengguna menggunakan dial up ketika mereka sedang berinteraksi dalam sebuah ruang tertentu. Sehingga waktu merupakan sesuatu yang memiliki korelasi yang positif dengan bills yang harus ia tanggung. Sehingga sebaiknya pesan yang dikirimkan tidak bertele-tele agar tidak membuang waktu untuk orang lain bisa membaca pesan kita atau menghabiskan memori.

 

Rule 5 : Make Yourself Look Good Online

Kualitas kita dinilai bukan dari bentuk rambut, merek baju yang kita pakai, atau cantik tidaknya kita. Kualitas kita dilihat dari bagaimana kita menulis. Kesan baik terbentuk dari bahasa tulisan kita : ejaan dan struktur kalimat yang dipakai oleh pengguna. Sehingga sebaiknya memakai kalimat-kalimat yang tidak menyakiti hati.

 

Rule 6 : Share Expert Knowledge

Salah satu tuntutan diciptakannya cyberspace karena saintist meminta adanya kebebasan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Sehingga ketika di internet sebaiknya kita menggunakan kesempatan berdiskusi ataupun berinteraksi untuk berbagi pengetahuan yang bermanfaat.

 

Rule 7 : Help Keep Flame Wars Under Control

Menjaga kondisi interaksi tetap berada di bawah kontrol. Menghindari terjadinya “flaming” (misalnya kondisi di mana partisipan bersikukuh saling mempertahankan opini yang akhirnya memungkinkan partisipan lain mengeluarkan kata-kata yang kurang menyenangkan).

 

Rule 8 : Respect Other’s People Privacy

Memahami dan menghargai privacy orang lain.

 

Rule 9 : Don’t Abuse Your Power

Meski beberapa partisipan memiliki keahlian yang lebih atau informasi yang labih banyak dari pengguna yang lain bukan berarti mereka bisa memanfaatkan hal ini untuk kepentingan diri sendiri sehingga mereka bisa mendominasi pembicaraan. Kekuasaan yang dimiliki harus ditempatkan pada proporsi yang tepat.

Rule 10 : Be Forgiving Of Other’s People Mistakes

Terkadang seseorang melakukan kesalahan saat mereka berada dalam cyberspace. Entah menggunakan ejaan yang salah, mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh, atau bahkan memberikan jawaban-jawaban yang terlalu bertele-tele. Jika terjadi hal demikian maka sebaiknya mengingatkan mereka dengan sopan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

De Vito, J.A. 2003. Human Communication the Basic Course. Ninth Edition. Pearson Education Inc. Boston

 

Huffaker, D.A., and Calvert, S.L. 2005. Gender, Identity, and Language Use in Teenage Blogs. Journal of Computer Mediated Communication, 10 (2). Article http://jcmc.indiana.edu/vol10/issue2/huffaker.html

 

Jaffe, et al. 2004. Language and Women’s Place. Harper & Row. New Hamsphire.

 

Jones, S. 1999. Doing Internet Research. Sage Publications. California.

 

Koentjaraningrat. 1965. Pengantar Antropologi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

 

 

Pavlik, J.V. 2000. New Media Technology: Cultural and Commercial Perspective. Allyn and Bocon. USA

 

Raharjo, A. 2002. Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

 

Tjiptono. 2003. E-Bussiness. Penerbit Erlangga. Jakarta