TEORI STRUKTURASI DARI ANTHONY GIDDENS

Dr. Argyo Demartoto, M.Si.

Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan mencoba mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.

Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri.

Giddens (2011) memaparkan, struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur system sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali actor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa merealisasikan sistem-sistem itu.

Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulangulang.

Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-ulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya. Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku social tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya, agen-agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu.

Tindakan manusia diibaratkan sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus seperti kognisi, mendukung atau bahkan mematahkan selama akal masih dianugerahkan padanya (Giddens, 2011:4).

Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.

Kasus yang mendukung konsepsi subjek sebagai agen aktif dan mengetahui banyak hal secara konsisten telah dikemukakan Giddens, yang merupakan serang kritikus Foucault yang paling lantang karena ia menghapus agen dari dari retetan sejarah. Giddens mengambil pandangan Garfinkel (1967), berpendapat bahwa tatanan sosial dibangun di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas sehari-hari dan memberikan penjelasan (dalam bahasa) tentang aktor atau anggota masyarakat yang ahli dan berpengalaman. Sumber daya yang diambil oleh sang aktor, dan dibangun olehnya adalah karaker sosial, dan memang struktur sosial (atau pola aktivitas teratur) menyebarkan sumber daya dan kompetensi secara sosial, yang berbeda dengan menjadi subjek aksi dengan segala macam individu, beroperasi untuk menstrukturkan apa itu aktor. Sebagai contoh, pola-pola harapan tentang apa yang dimaksud dengan menjadi key person, dan praktik yang terkait dengan etnisitas, mengkonstuksi seaorang key person sebgai subjek yang sepenuhnya berbeda.

Subjektivitas yang dititik beratkan pada etnisitas pada gilirannnya memberdayakan kita untuk bertindak bedasarkan fakta sosial tertentu. Sejalan dengan itu, masalah-masalah mengenai bagaimana seorang aktor bias memperngaruhi keadaan atau bahkan kualitas lingkungan tak pelak turut menjadi kajian kotemporer yang juga bisa dikaji secara mikro kemudian menjadi makro.

Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual, melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person oleh sejumlah harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar dan menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-aturan itu, mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut kembali menjadikan masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan walaupun pada akhirnya munculnya kuasa mampu menembus peraturan yang mereka buat sendiri.

1. Mengklarifikasi Ranah Agen, Agensi

Konsep agensi umunya diasosiasikan dengan kebebasan, kehendak bebas, tindakan kreativitas, orisinilitas dan kemungkinan perubahan melalui aksi agen bebas. Bagaimanapun juga kita perlu membedakan antara istilah metafisis atau mistis agensi bebas di mana agen membentuk dirinya sendiri (yaitu mewujudkan dirinya sendiri dari ketiadaan) dengan konsep agensi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial dan diberdayakan oleh sumber daya sosial yang disebarkan secara bervariasi, yang memunculkan berbagai tingkat kemampuan untuk bertindak pada ruang-ruang tertentu.

Sebagai contoh, identitas suatu kaum terikat dengan struktur yang mewarnainya yang didahului oleh hasil nilai dan diskursus sosial yang memungkinkannya melakukan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai seorang agen. Kemudian ada perbedaan antara konsepsi di mana tindakan diciptakan oleh agen yang bebas karena tidak ditentukan dengan agensi sebagai suatu kapasitas untuk bertindak yang dibentuk secara sosial. Kebebasan yang mengarah pada kekuaasan subjektif dikaji secara khas.

Pandangan bahwa agen itu bebas dalam arti tidak ditentukan tidak dapat dipertahankan akrena dua alasan:

  1. Terdiri dari apa saja tindakan manusia yang tidak ditentukan atau tidak dipengaruhi? Tindakan seperti ini ialah sesuatu yang diciptakan secara spontan dari ketiadaan suatu bentuk metafisis dan mistis ciptaan orisinal.
  2. Subjek ditentukan, dipengaruhi dan diproduksi, oleh kekuatan sosial yang ada di luar dirinya sendiri sebagai individu. Giddens menyebutnya sebagai Dualitas Struktur (Barker, 2011: 191).

 

Hambar rasanya bila menjadi seorang agen tidak memiliki pantauan akan suatu lingkungan yang didasarkan akan sifatnya yang aktif. Untuk menunjangnya Giddens mencoba memaparkan Model straitifikasi agen atau pelaku yang digambarkan pada skema berikut (Giddens, 2011:6)

Monitoring refleksif aktivitas merupakan ciri terus menrus tindakan sehari-hari dan melibatkan perilaku tidak hanya individu namun juga perilaku orang-orang lain. Intinya, aktor-aktor tidak hanya senantiasa memonitor arus aktivitas-aktivitas dan mengharapkan orang lain berbuat sama dengan aktivitasnya sendiri; mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek, baik sosial maupun fisik konteks tenpat bergerak dirinya sendiri. Yang dimaksudkan dengan rasionalisasi tindakan ialah bahwa para aktor juga secara rutin dan kebanyakan tanpa banyak percekcokan memperthankan suatu “pemahaman teoritis” yang terus-menerus atas dasar-dasar aktivitasnya. Pemahaman seperti ini hendaknya tidak disamakan dengan pemberian alasan-alasan secara diskursif atas butir-butir perilaku tertentu, maupun tidak disamakan dengan kemampuan melakukan spesifikasi terhadap alasan-alasan seperti itu secara diskursif. Namun demikian, agen-agen lain yang cakap mengharapkan dan merupakan kriteria kompetensi yang diterapkan dalam perilaku sehari-hari bahwa actor biasanya akan mampu menjelaskan sebagian besar atas apa yang mereka lakukan, jika memang maksud-maksud dan alasan-alasan yang menurut para pengamat normalnya hanya diberikan oleh aktor-aktor awam baik Motivasi tindakan ketika beberapa perilaku tertentu itu membingungkan atau bila mengalami kesesatan atau fraktur dalam kompetensi yang kenyataannya mungkin memang kompetensi yang diinginkan. Jadi kita biasanya tidak akan menanyai orang lain mengapa ia melakukan aktivitas yang sifatnya konvensional pada kelompok atau budaya yang ia sendiri menjadi anggotanya. Kita biasanya juga tidak meminta penjelasan bila terjadi kesesatan yang nampak mustahil bisa dipertanggungjawabkan oleh agen bersangkutan. Namun jika Freud memang benar, fenomena seperti itu mungkin memiliki dasar pemikiran tertentu, kendati jarang disadari baik oleh pelaku seperti itu atau orang lain yang menyaksikannya (Giddens, 2011:7).

Pembedaan antara monitoring refleksif dan rasionalisasi tindakan dengan motivasinya. Jika alasan-alasan mengacu pada keinginan-keinginan yang mengarahkannya. Akan tetapi, motivasi tidaklah secara langsung dibatasi oleh kesinambungan tidakan-tindakan seperti halnya rasionalisasi atau monitoring refleksifnya. Motivasi mengacu pada potensi tindakan bukan pada model pelaksanaan tindakan secara terus menerus oleh agen yang bersangkutan. Motif-motif cenderung memiliki perolehan langsung atas tindakan hanya dalam keadaan-keadaan yang relatif tak biasa, situasisituasi yang dalam beberapa sisi terputus dari rutinitas. Kebanyakan motifmotif memasok seluruh rencana atau program ‘proyek-proyek’ dalam istilah Schutz, tempat dilakukannya gugusan perilaku. Kebanyakan perilaku sehari-hari tidak dimotivasi secara langsung (Giddens, 2011: 7).

Menginduksi pernyataan di atas dapat ditarik benang merah bahwa sifat-sifat khusus agen ialah sebagai berikut:

  1. Agen tidak hanya memonitor terus menerus aliran dan aktivitasaktivitas mereka dan mengharapkan pihak lain bertindak seperti dirinya. Mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek fisik dan sosial dari konteks tempat mereka bergerak.
  2. Dengan rasionaliasi tindakan secara rutin dan berlalu tanpa tumpang tindih, maka hal itu mengukuhkan pemahaman teoritis secara terus menerus dari landasan aktiitas mereka. Aktor selalu mampu menjelaskan banyak hal dari apa yang mereka lakukan, jika mereka bertanya.
  3. Pertanyaan sering menjadi tujuan dan alasan filosof yang biasanya untuk membantu menjelaskan bagi aktor awam yang tengah menghadapi beberapa situasi yang membingungkan atau ketika ada semacam perubahan atau keretakan kompetensi yang mungkin secara nyata menjadi sesuatu yang diharapkan.
  4. Monitoring refleksif dan rasionalisai tindakan dibedakan bedasarkan motivasi (Susilo, 2008: 415-416).

 

Guna memfokuskan klarifikasi mengenai agensi, perlulah sekiranya dibuat batasan mengenai agensi manusia yang diluruskan di bawah ini:

  1. Agensi manusia menekankan hubungan antara aktor dan kekuasaan. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk membuat sebuah perbedaan dari kondisi peristiwa atau tingkatantingkatan kejadian sebelumnua. Seorang agen akan berhenti menjadi agen jika ia kehilangan kemampuan untuk membuat sebuah perbedaan dalam melatih beberapa jenis kekuasaan. Banyak kasus yang menarik dari analisis sosial yang terfokus pada margin yang dapat kita artikan sebagai tindakan, yaitu saat kekuasaan individu dibatasi oleh jarak keadaan-keadaan khusus. Tetapi ini menjadi kepentingan pertama untuk mengenali keadaankeadaan pengekangan sosial yang membuat individu tidak memiliki pilihan yang tidak sama dengan disintegrasi tindakan. Tidak memiliki pilihan bukan berarti bahwa tindakan telah digantikan oleh reaksi (yang membuat seseorang mengambik taktik ketika gerakan teratur dibuat di depan mata sendiri).
  2. Sebagian aliran teori sosial terkemuka tidak mengenal pembedaan, utamanya yang berhubungan dengan objektivitisme dan structural. Mereka menyatakan bahwa kekangan beroperasi seperti kekuatan alam, seolah-olah tidak memiliki pilihan yang sama dengan yang digerakkan tanpa perlawanan dan tidak mampu dipahami oleh tekanan-tekanan mekanis.
  3. Agen tidak bebas untuk memilih bagaimana membentuk dunia sosial, tetapi dibarasi oleh pengekangan posisi historis yang mereka tidak pilih.
  4. Baik tindakan aktor maupun struktur akan melibatkan tiga aspek yakni makna, norma dan kekuasaan (Susilo, 2008: 416).

 

Lagi, kata Giddens setiap manusia merupakan agen yang betujuan (purposive agent) karena sebagai individu, ia memiliki dua kencenderungan, yakni memiliki alasan-alasan untuk tindakan-tindakannya dan kemudian mengelaborasi alasan-alasan ini secara terus menerus sebagai bertujuan, bermaksud dan bermotif (Susilo, 2008: 413). Sedangkan gensi mengacu pada perbuatan, kemampuan atau tindakan otonom untuk melakukan apa pun.

 

2. Struktur, Strukturasi

Apa yang hendak kita bahas dalam sub bab ini ialah inti dari teori strukturasi yakni konsep-konsep struktur, sistem dan dualitas struktur. Gagasan strukturasi (atau ‘struktur sosial’) tentu saja sangat penting dalam tulisan-tulisan kebanyakan penulis fungsionalis dan telah memberikan andilnya pada tradisi strukturalisme, namun tampaknya tidak ada konsep yang paling cocok dengan tuntunan-tuntunan teori sosial. Para penulis fungsionalisme dan para pengkritiknya telah memberikan memberikan perhatian besar pada gagasan fungsi dibandingkan dengan gagasan struktur, dan dengan demikian struktur lebih cenderung digunakan sebagai gagasan yang diterima begitu saja. Namun tak diragukan lagi terdapat gagasan tentang bagaimana struktur biasanya dipahami oleh kaum fungsionalis dan bahkan oleh mayoritas analis sosial-sebagao suatu ‘pemolaan’ hubungan atau fenomena-fenomena sosial. Kondisi ini kerap dianggap sebagai pencitraan visual, yang sama dengan kerangka atau morfologis organisme atau penyangga suatu bangunan. Konsepsi-konsepsi seperti itu berhubungan denga dualisme subjek dan objek sosial.

Di sini struktur ternyata sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi tindakan manusia, sebagai sumber yang mengekang kekuasaan subjek yang disusun secara mandiri. Sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam pemikiran strukturalis dan post-strukturalis, gagasan struktur ternyata lebih menarik. Dalam hal ini struktur secara khas dianggap bukan sebagai pembuat pola kehadiran seorang melainkan sebagai titik simpang antara kehadiran dan ketidakhadiran. Kode-kode dasar harus disimpulkan dari manifestasi-manifestasi yang merekat (Giddens, 2011: 20). Sehingga batas-batas antara keduanya bisa diidentifikasi dengan jelas pada pembahasan selanjutnya.

Dua ide tentang struktur tersebut sekilas tampak tidak ada kaitannya satu sama lain, namun nyatanya masing-masing berhubungan dengan aspek-aspek penting dari struktur hubungan-hubungan sosial, aspek-aspek yang dalam teori strukturasi dapat dipahami dengan menganalisis perbedaan antara konsep struktur dengan sistem. Dalam menganalisis hubungan-hubungan sosial, kita harus mengakui dimensi sintagmatig, suatu pola hubungan sosial dalam ruang dan waktu yang melibatkan urutan sebenarnya dari mode-mode pengembangan struktur yang secara reikursif diimplikasikan dalam proses-proses reproduksi. Dalam tradisi strukturalis, biasanya terdapat ketaksaan (ambiguity) perihal apakah struktur mengacu secara terbuka pada suatu matriks transformasi di dalam seperangkat aturan-aturan transformasi yang menentukan matriks tersebut. Paling  idak dari makna dasarnya, saya mempeelakukan matriks sebagai sesuatu yang mengacu pada aturan-aturan dan sumber daya-sumber daya seperti itu.

Hanya saja tidak tepat bila menyebutnya sebagai aturan-aturan yang tertransformasi, sebab semua aturan bersifat transformative. Oleh karena itu, struktur dalam analis sosial lebih mengacu pada sifat-sifat struktur yang membuka kemungkinan pemberian batas-batas ruang dan waktu dalam sistem-sistem sosial, sifat-sifat demikian memberi kemungkinan munculnya praktek-praktek sosial serupa dalam berbagai rentang ruang dan waktu serta memberinya suatu bentuk ‘sistematik’.

Menyatakan bahwa struktur merupakan urutan sesungguhnya dari suatu hubungan tranformatif berarti bahwa sistem sosial, sebagai praktek sosial yang dereproduksi tidak memiliki struktur namun memperlihatkan sifat-sifat struktual. Ia menunjukkan bahwa struktur itu ada, sebagaimana keberadaan ruang dan waktu. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di dalam berbagai tindakan isntan serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi petunjuk akan perilaku agen-agen manusia yang telah banyak memiliki pengetahuan. Pada gilirannya , kita bisa saja menganggap bahwa sifat-sifat struktural tersebut sebagai sesuatu yang secara hirarki diorganisasikan bedasarkan luasnya ruang dan waktu tempat pengorganisasian tindakan-tindakan tersebut secara rekursif. Sifat-sifat struktural yang muncul dalam sebuah totalitas reproduksi sosial demikian menurut Giddens disebut sebagai prinsip-prinsip struktural. Dengan praktek-praktek sosial yang memiliki perluasan ruang waktu terbesar dalam totalitas seperti itu bisa diacu sebagai institusi.

Anggap saja aturan-aturan kehidupan sosial sebagai teknik-teknik atau prosedur-prosedur yang bisa digeneralisasikan yang diterapkan dalam pembuatan atau reproduksi praktek-praktek sosial. Aturan-aturan yang dirumuskan yang diberi ekspresi verbal sebagai kanon hukum, aturan-aturan birokratis, aturan-aturan permainan dan sebagainya merupakan kodifikasi intepretasi atas aturan-aturan bukannya aturan-aturan itu sendiri.

Aturan-aturan tersebut hendaknya tidak dianggap sebagai sebuah penggambaran umum melainkan sebagai jenis-jenis khusus yang dirumuskan, bedasarkan formulasi lahirnya, yang terwujud dalam berbagai kualitas khusus (Giddens, 2011: 27).

Sejauh ini pertimbangan-pertimbangan tersebut hanya menawarkan pendekatan awal pada persoalan itu. Bagaimana kaitan rumus dengan praktek-praktek yang dijakankan aktor-aktor sosial dan jenis rumus apa yang paling menyedot perhatian kta dalam mencapai tujuan-tujuan umum analisis sosial? Tentang pertanyaan di atas kita bisa mengatakan bahwa kesadaran atas aturan-aturan sosial yang diungkapkan dulu dan paling banyak dalam kesadaran praktis, merupakan inti ‘jangkauan pengetahuan’ (knowledge ability) yang terutama memberikan karakter pada agen-agen manusia. Sebagai aktor-aktor sosial, seluruh manusia telah banyak dipelajari berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki diterapkannya dalam memproduksi dan mereproduksi perjumpaan-perjumpaan social sehari-hari. Kumpulan pengetahuan seperti itu sifatnya praktis bukannya teoritis. Pengetahuan tentang prosedur atau penguasaan teknik-teknik melakukan aktivitas sosial dengan demikian bersifat metodologis.

Maksudnya pengetahuan seperti itu tidak menetapkan seluruh situasi yang mungkin ditemui seoang aktor dan juga tidak bisa dilakukan olehnya. Namun pengetahuan memnerikan kapasitas umum untuk menanggapi dan mempengaruhi garis kontinum yang tak terhingga dari keadaan-keadaan sosial.

Jenis-jenis aturan yang paling penting bagi teori sosial terkunci dalam reproduksi praktek-praktek yang dilembagakan, yakni praktek-praktek yang paling dalam mengendap dalam ruang dan waktu. karakteristik utama aturan-aturan yang relevan dengan pertanyaanpertanyaan umum analisis sosial bisa diuraikan sebagai berikut (Giddens, 2011: 28) :

 

Intensif            tak diucapkan              informal           dengan sangsi ringan

:                                  :                            :

Dangkal           diskursif                      diformalkan     dengan sanksi berat

 

Dengan menggunakan aturan-aturan yang bersifat intensif, digunakanlah rumus yang biasa digunakan sehari hari, yang masuk dalam pembangunan bentuk kehidupan sehari-hari. Aturan-aturan bahasa memiliki sifat seperti ini. Begitu juga misalnya prosedur-prosedur yang dimanfaatkan oleh aktor dalam mengorganisasikan giliran bicara dalam percakapan atau interaksi. Prosedur-prosedur itu bisa diperbandingkan dengan aturan-aturan yang lebih abstrak yakni hukum yang dikodifikasi paling berpengaruh untuk menata aktivitas sosial. Namun kebanyakan prosedur yang tampak remeh dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap generalitas perilaku sosial. Kategori lainnya kurang lebih bersifat pemaparan diri. Kebanyakan aturan yang diimplikasikan dalam produksi dan reproduksi ialah praktek-praktek sosial hanya secara diam-diam dipahami oleh aktor-aktor, mereka mengetahui cara terus melakukan sesuatu. Rumusan diskursif suatu aturan merupakan intepretasi atas aturan itu, dan sebagaimana yang telah dikemukakan mungkin dengan sendirinya mengubah bentuk penerapannya. Diantara aturan-aturan yang tidak dirumuskan secara diskursif namun di komodifikasi secara formal, jenis kasusnya ialah kasus hukum. Hukum tentu saja mrupakan salah satu jenis aturan sosial yang disertai kuat dan dalam masyarakat modern secara formal telah ditetapkan tingkatan-tingkatan retribusinya (Giddens, 2011: 29-30).

Aturan yang muncul dalam interaksi sosial menjadi pedoman yang digunakan agen-agen atau pelaku-pelaku untuk melakukan reproduksi hubungan-hubungan sosial yang melintasi batasan waktu dan ruang. Aturan muncul dengan ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Aturan sering dipikirkan dalam hubungan dengan permainan (games) atau sebgai konsep yang diformalkan. Bahkan ia dikidifikasijan sebagai bentuk hukum yang secara karakteristik menjadi pokok persoalan dari sebuah keragaman tentang permohonan yang sunguh-sungguh.
  2. Aturan sering diperlakukan tunggal, seolah-olah ia dapat dihubungkan dengan contoh-contoh khusus atau bagian dari tindakan. Tetapi menjadi tidak benar jika dikenalkan dengan analogi pada beroperasinya kehidupan sosial, yang makna praktikpraktik dilanggengkan dalam kebersatuan dengan kerangka yang terorganisasi secara longgar.
  3. Aturan tidak dapat dikonsepkan lepas dari sumber daya, yang menunjukkan cara dengan jalan mana hubungan transformative benar-benar bergabung dengan reproduksi dan produksi praktikpraktik sosial. Kemudian, sifat-sifat struktural menggambarkan bentuk dominasi dan kekuasaan.
  4. Aturan secara tidak langsung menjadi prosedur metodis interaksi sosial, seperti yang telah dibuta oleh Garfinkel. Secara tipikal, aturan silang-menyilang dengan praktik-praktik dalam kontekstualisasi pertemuan terkondisikan. Pertimbangan untuk tujuan khusus yang Garfinkel identifikasi secara kronis dilibatkan dengan bukti terwakili dari aturan. Ia penting untuk membentuk aturan-aturan itu. Harus ditambahkan bahwa setiap agen social yang kompeten merupakan ahli teori sosial pada tingkatan kesadaran diskursif dan ahli metodologis pada tingkatan kesadaran diskursif dan praktis.
  5. Ada dua aspek aturan dan penting membedakannya secara konseptual, sejak sejumlah penulis filosofis cenderung mengganggapnya sama. Pada satu sisi, aturan berhubungan dengan aturan makna dan pada sisi lain pemberian sanksi cara bertingkah laku sosial (Giddens, 1984:18).

 

Kemudian, pembedaan struktur sebagai istilah umum dengan struktur dalam pengertian jamak ialah keduanya berasal dari sifat struktural sistem sosial. Struktur mengacu tidak hanya pada aturan-aturan yang disiratkan dalam produksi dan reproduksi sistem-sitem sosial namun juga pada sumberdaya-sumberdaya. Ketika Giddens menjelaskan sumber daya, ia menyatakan bahwa individu menciptakan masyarakat dengan tidak sekadar melakukan garukan melalui cara yang sederhana, tetapi lebih dahulu menggambarkan sumber-sumber yang telah ada sebelumnnya.

Adapun tiga jenis sumber daya yang dmaksudkan ialah:

a. Makna-makna (sesuatu yang diketahui, stok pengetahuan

b. Moral (sistem nilai)

c. Kekuasaan (pola-pola dominasi dan pembagian kepentingan.

Sumber daya juga terdiri atas dua hal yakni sumber daya autoritatif dan sumber daya alokatif. Sumber daya autoritatif diturunkan dari koordinasi aktivitas agen. Sumber daya alokatif merupakan lingkaran control produk material atau tentang aspek dari dunia material.

Sebagaimana yang biasa digunakan dalm ilmu sosial, struktur cenderung digunakan bersama aspek yang lebih mantap pada sistem sosial. Aspek paling penting dari struktur ialah aturan dan sumberdaya yang secara rekursif dilibatkan dalam institusi-institusi.ditilik dari definisinya, institusi-institusi merupakan ciri yang lebih mantab pda kehidupan sosial. Yang dimaksud dalam sifat-sifat struktural ialah aspek kelembagaannya, dengan memberikan soliditas sepanjang ruang dan waktu. Kasus yang selalu muncul ialah bahwa ruang dan waktu memiliki identitasnya yang berbeda.

Arti penting dalam pengertian struktur ialah bisa dikatakan sebagai pelengkap penjelasan mengenai agen. Menurut Giddens struktur terkait dengan hal-hal berikut:

  1. Struktur merupakan sifat-sifat terstuktur yang mengikat ruang dan waktu dalam sistem sosial. Sifat-sifat ini mungkin menjadi praktik sosial yang sama terlihat berlangsung melebihi rentang ruang-waktu yang meminjamkan kepadanya dalam bentuk sistemik.
  2. Struktur merupakan keteraturan yang sebenarnya dari hubungan transformative, yang berarti sistem sosial karena praktik-prakitk sosial yang tereproduksi tidak memiliki strukutur, tetapi lebih menunjukkan sifat-sifat struktural dan keberadaan struktur itu sebagai kehadiran ruang dan waktu, hanya dalam penggambarannya seperti pada prakitk-prakitk sosial dan sebagai memori yang menemukan arah pada perilaku agen manusia yang dapat dikenali. (Susilo, 2008: 417).

Kita juga bisa memahami sifat-sifat struktural sebagai organisasi secara hirarkis dalam kerangka pengembangan ruang waktu dari praktik-praktik yang mereka atur secara berulang-ulang. Sifat struktural yang sangat dalam dan melekat berhubungan secara tidak langsung dengan reproduksi totalitas masyarakat. Giddens menyebutnya sebagai prinsipprinsip struktural. Praktik-praktik ini memiliki pengembangan ruang waktu yang sangat besar.

Bisa disimpulkan bahwa struktur didefinisikan sebagai sifat-sifat yang terstruktur (aturan dan sumber daya). Sifat-sifat yang memungkinkan praktik sosial serupa dapat dijelaskan untuk berlangsung di sepanjang ruang dan waktu dan kedua proses ini membuat bentuk-bentuk hubungan menjadi sistemik. Jadi, struktur hanya akan terwujud bila ada aturan dan sumber daya. Keduanya sangat penting untuk mereproduksi sistem sosial. Karena itu struktur menjelma dalam ingatan orang yang memiliki banyak pengetahuan (Waters dan Jary, dalam Susilo, 2009: 418).

Giddens menyatakan bahwa ada tiga gugus besar struktur. Pertama struktur penandaan atau signifikansi yang menyangkut sekamata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang atau hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran (legitimasi) yang menyangkut skemata peraturan normative yang terungkap dalam tata hukum.

Kita mudah memahami bahwa hidup di dalam masyarakat menuntut banyak banyak hal agar diakui keberadaannya. Kita hidup di lingkungan sosial, tempat keputusan dan hal-hal yang terjadi juga ditentukan pihakpihak lain. Kita tidak bisa hidup sendirian, sebab banyak ha yang akan membantu kita dan sekaligus banyak hal pula yang membatasi langkahlangkah kita. Kita tentunya bangga jika disebut orang yang produktif atau sebagai tokoh yang berhasil atau singkatnya sebagai orang yang berkuasa. Prestis kita akan naik jika semua orang memberikan penghargaan dan pengakuan.

Demikian pula ketika ita bisa menguasai sejumlah orang, memasukkan ide-ide pada mereka sehingga kebahagiaan kita pun akan semakin bertambah. Menjadi pimpinan, berarti melekat pula fasilitas, kewenangan, legitimasi dan kemudahan-kemudahan lain. Demikian pula menjadi bawahan tentunya akan menanggung resiko yang jauh lebih tidak nikmat. Bawahan tidak mengerti aturan main, bahkan sering menjadi koran dari permainan aturan main tersebut. Dalam hal itu, seperti yang dijelaskan berulang-ulang, Giddens menawarkan pandangan dunia social yang besar merupakan pola-pola interaksi, tetapi mereka juga dipandang sebagai struktur. Struktur di sini bersifat sistematis, teratur, permanen, sepanjang agen mereproduksinya di masa depan. Struktur memiliki kapasitas ganda, baik mengekang maupun mendorong (menyediakan sumberdaya) agensi manusia. Struktur bisa menjadi alat (media) dan menjadi konsekuensi tindakan manusia (Susilo, 2008:419).

Menurut teori strukturasi, saat agen memuliki kuasa untuk memproduksi tindakan juga berarti saat melakukan reproduksi dalam konteks menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Salah satu proposisi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan sumberdaya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial sekaligus merupakan alat reproduksi sistem (dualitas struktur).

 

 

3. Dualitas Struktur

 

 

 

 

 

 

 

 

(Giddens, 2011: 31)

 

Struktur sebagai perangkat aturan dan sumberdaya yang diorganisasikan secara rekursif, berada diluar ruang dan waktu, disimpan dalam koordinasi dan kesegeraanna sebagai jejak-jejak memori yang ditandai oleh ketiadaan subjek. Sebaliknya sistem sosial tempat disiratkannya secara rekursif struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas agen manusia daam situasi tertentu yang direproduksi dalam ruang dan waktu.

Menganalisis struktur sistem sosial berarti mengkaji mode-mode tempat diproduksi dan direproduksinya sistem-sistem seperti itu dalam interaksi yang didasarkan pada aktivitas-aktivitas utama agen-agen di temapat tertentu yang menggunakan aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya dalam konteks tindakan yang beraneka ragam. Yang paling penting dalam gagasanstrukturasi ialah dualitas struktur yang secara logis disiratkan dalam argument-argumen yang dikemukakan di atas. Pembentukan agen- agen dan struktur-struktur bukanlah dua gugus fenomena tertentu yang terpisah, yakni dualism, melainkan menggambarkan suatu bentuk dualitas. Menurut gagasan dualitas struktur sifat-sifat struktual sistem social keduanya merupakan media dan hasil praktek-praktek yang mereka organisasikan secara rekursif. Struktur tidaklah bersifat eksternal bagi individu-iddividu, sebagai jejak-jejak memori dan seperi yang diwujudkan dalam praktek-praktek sosial, namun dalam pengertian tertentu ia lebih bersifat ‘internal’ bukannya eksternal bagi aktivitas-aktivitasnya dalam pengertian Durkheim dengan fakta sosial. Struktur tidak disamakan dengan kekangan namun selalu mengekang dan membebaskan. Tentu saja hal ini tidak mencegah sifat-sifat terstruktur sistem sosial untuk melebar mauk ke dalam ruang dan waktu di luar kendali aktor-aktor individu, juga tidak ada kompromi terhadap kemungkinan-kemungkinan bahwa teori sistem sosial para aktor dibantu ditetapkan kemabali dalam aktivitasaktivitasnya bisa merealisasikan sistem-sistem itu. Reifikasi hubungan-hubungan sosial atau naturalisasi diskursif keadaan-keadaan yang bergantung secara historis pada produk-produk tindakan manusia merupakan salah satu dimensi utama ideology dalam kehidupan social (Giddens, 2011: 32).

Dualitas struktur selalu merupakan dasar utama kesinambungan dalam reproduksi sosial dalam ruang dan waktu. Pada gilirannya hal ini mensyaratkan monitoring refleksif agen-agen dan sebagimana yang ada di dalam duree aktivitas sosial sehari-hari. Namun jangkauan pegetahuan manusia itu selalu terbatas. Arus suatu tindakan senantiasa mengahasilkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan oleh aktor-aktor dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan itu mungkin juga membentuk kondisi-kondisi tindakan yang tak diakui dalam suatu umpan balik. Meski sejarah manusia diciptakan oleh aktivitas-aktivitas yang disengaja, namun ia bukanlah suatu proyek yang diinginkan, sejarah manusia senantiasa menghindarkan usaha-usaha untuk menggiringnya agar tetap berada di jalur kesadaran. Namun usaha-usaha semacam itu trus menerus dilakukan manusia, yang bekerja di bawah ancaman dari janji bahwa mereka adalah satu-satunya makhluk yang membuat sejarahnya dengan memperhatikan fakta di atas.

Sedikit banyak dualitas struktur telah memebri keterangan kita tentang bagaimana agen dan struktur berintegrasi dan membangun identitasnya yang baru yang juga didukung oleh pengetahuan latar, ruang dan waktu yang memiliki karakteristiknya tertentu. Tak berhenti sampai di situ, konsepsi mengenai legitimasi sangat patut kita turut campurkan dalam bersatunya agen dan struktur yang mebangun identitasnya yang baru. Legitimasi sangat terkait dengan penerimaan dan kesadaran. Di mana komunikasi intensif daripada agen dan struktur secara langgeng disadari dan pada akhirnya mereproduksi kententuan-ketentuan, nilai serta norma-norma yang baru. Gagasan ini memang lebih dirasa rasional ketika perjumpaan sosial dan sumberdaya menjadi peluang untuk mengontrol keadan sosial dikendaki untuk berubah bedasar atas agen-agen yang pintar dalam melihat situasi.

 

4. Identitas Diri Sebagai Proyek

Bagi Giddens (1991) identitas terbentuk oleh kemampuan untuk melanggenggkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang kontinuitas biografis. Cerita mengenai identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis. Individu atau agen berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana siri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Giddens, 1991:75). Jadi, identitas diri bukanlah sifat distingtif, atau bahkan kumpulan sifat-sifat, yang dimiliki oleh individu. Identitas diri ialah bagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya (Giddens, 1991:53).

Opini Giddens sesuai dengan pandangan awam kita tentang identitas, karena ia mengatakan bahwa identitas diri ialah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah kumpulan sifat-sifat yang kita miliki; identitas bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau benda yang bias kita tunjuk. Agaknya identitas adalah cara berfikir tentang diri kita. Namun yang kita piker tentang diri kita berubah dari situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya, itulah sebabnya Giddens menyebut identitas sebagai proyek. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang kita piker tentang diri kita saat ini dari sudur situasi masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita piker kita inginkan, lintasan harapan kita ke depan.

 

5. Identitas Sosial

Meski identitas-diri bisa dipahami sebagai proyek kita, kita telah menjadi truismesosiologis bahwa kita lahir di dunia yang mendahului kita. Kita belajar menggunakan bahasa yang telah digunakan sebelum kita datang dan kita menjalani hidup kita dalam konteks hubungan social dengan orang lain. Singkatnya, kita terbentuk sebagai individu dalam proses sosial dengan menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial. Biasanya ini dipahami sebagai sosialisasi atau atkulturasi. Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi orang sebagaimana yang telah kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bahasa, konsep kedirian dan identitas akan dapat kita mengerti.

Tidak ada elemen transedental atau historis terkait dengan bagaimana seharusnya menjadi seseorang. Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, karena alasan-alasan berikut:

  1. Pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan kulutral. Sebagai contoh, individualism adalah ciri khas masyarakat modern.
  2. Sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Semuanya itu dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang berbeda pula.

 

6. Subjek Sosiologis

Kita telah mencatat bahwa identitas tidak membangun dirinya sendiri atau berada dalam diri melainkan aspek yang seluruhnya kultural karena terbangun melalui proses akulturasi. Diri yang disosialisasikan inilah yang disebut Hall sebagai subjek sosiologis di mana.

Inti dari subjek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan orang lain yang berpengaruh (signifikan others), yang jadi perantara subjek dengan nilai dan simbol-kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup (Hall, 1992b:275 dalam Barker, 2011:177).

Orang lain yang berpengaruh pertama pada kita nampaknya ialah anggota keluarga kita, yang dari mereka kita belajar melalui pujian, hukuman, peniruan dan bahasa, bagaimana menjalani hidup di dalam kehidupan sosial. Jadi asumsi dasar pandangan sosiologi tentang subjek ialah bahwa manusia adalah makhluk sosial di amana aspek sosial dan individu saling membentuk satu sama lain. Kendati demikian diri dipahami memiliki inti –dalam yang padu, ia dibentuk secara interaktif antara dunia dalam dengan dunia sosial yang ada di luar. Memang, internalisasi nilai dan peran sosial menstabilkan individu dan memastikan agar seorang individu cocok dengan struktur sosial dengan menjalin diri atau merangkai diri ke dalamnya. Berikut kerangka teoritik yang dapat dijelaskan: