Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Seksual Laki-Laki Yang Berhubungan Seks Dengan Laki-Laki (LSL) Dalam Kaitannya Dengan HIV dan AIDS

Dr. Argyo Demartoto, M.Si[1]

 

Pendahuluan

Situasi epidemi HIV dan AIDS di Indonesia hingga akhir tahun 2020 akan terus mengalami peningkatan prevalensi, masih ditingkat terkonsentrasi pada populasi paling beresiko (the most at risk populations – mARPs). Situasi ini mendorong program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS diarahkan pada mARPs termasuk komunitas Laki-laki yang berhubungan Seks dengan Laki-laki (LSL).

Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2012, jumlah penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 32.643.612 jiwa, terdiri dari 16.273.976 penduduk laki-laki dan 16.369.636 penduduk perempuan. Jumlah kumulatif kasus HIV & AIDS di Jawa Tengah dari tahun 1993 hingga 30 Juni 2012 tercatat sebanyak 5.301 kasus terdiri dari 2.922 kasus pengidap infeksi HIV dan 2.379 kasus AIDS 642 orang diantaranya sudah meninggal dunia dan lainnya tidak berada di Jawa Tengah. Berdasarkan kasus AIDS dari tahun 1993 hingga 30 Juni 2012 tercatat laki-laki 61,7 % dan perempuan 38,3 %. Berdasarkan faktor risiko tercatat heteroseksual 1.886 kasus (79,3%), IDU : 272 kasus (11,4%), homoseksual 96 kasus (4%), perinatal 117 kasus (4,9%) dan transfusi 8 kasus (0,3%). Perilaku seksual kalangan gay dan LSL lain memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mata rantai penularan HIV dan AIDS.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku seksual LSL di 10 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dalam kaitannya dengan HIV dan AIDS.

 

 

 

Tinjauan Pustaka

  1. 1.    Laki-laki Yang Berhubungan Seks Dengan laki-laki (LSL)

Terminologi “LSL” muncul setelah KPA mengadopsinya dari istilah MSM (men who have sex with men) sejak bulan Juli 2008. Menurut Asia Pacific Coalition on Male Sexual Health terminologi Men Who Have Sex With Men (MSM) atau Laki-Laki yang berhubungan Seks Dengan Laki-Laki (LSL) dimaksudkan untuk menjelaskan semua pria yang berhubungan seks dengan pria, tanpa memandang identitas seksual mereka. Ini digunakan karena hanya sejumlah kecil dari pria terlibat perilaku dalam perilaku seksual sesama jenis yang didefinisikan sebagai gay, homoseksual, dan biseksual tapi lebih tepat mengidentifikasi diri menggunakan identitas dan perilaku lokal sosial dan seksual. Mereka tidak menganggap hubungan seksual mereka dengan pria lain dalam terminologi identitas, atau orientasi seksual. Banyak yang berhubungan seks dengan pria mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual bukan homoseksual atau biseksual, terutama bila mereka juga berhubungan seks dengan wanita, menikah, hanya memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks, dan/atau berhubungan seks dengan pria demi uang atau kesenangan (http://msmasia.org) .

LSL termasuk juga kategori dari pria yang dapat dibedakan menurut pengaruh dari variabel seperti:

  1. Identitas seksual mereka, tanpa memandang perilaku seksual (gay, homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender atau persamaannya, dan identitas lain);
  2. Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas mereka yang bukan mainstream (terbuka atau tertutup);
  3. Partner seksual mereka (pria, wanita, dan/atau transgender);
  4. Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami, pemaksaan atau tekanan, motif komersial, kesenangan atau rekreasi, dan /atau kondisi lingkungan – individu tersebut berada pada lingkungan yang semuanya pria;
  5. Peran mereka dalam praktik khusus (penetratif, represif atau keduanya); dan
  6. Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (pria atau wanita, maskulin atau feminine/effeminate, bersebrangan pakaian (cross-dressing) atau berpakaian sesuai gender).

(http://www.fhi360.org)

Pria yang berhubungan seks dengan pria menjadi terminology yang populer dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia digunakan karena menggambarkan perilaku yang menempatkan mereka dalam risiko terinfeksi. Telah menjadi perdebatan bahwa terminologi tersebut terlalu terfokus pada perilaku seksual dan tidak mencukup pada aspek lain seperti emosi, hubungan, dan identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan dari infeksi. Beberapa organisasi dan individu lebih suka memakai terminologi pria yang berhubungan seks dengan pria, karena ia menunjukkan kelompok yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan pasangan lain dari kelamin yang sama. Khususnya, ia tidak mempunyai batasan pada umur yang ditunjukkan dengan kata “pria”, dan karenanya termasuk juga anak-anak lelaki yang saling berhubungan seks dan juga hubungan seks antara pria dewasa dengan anak lelaki (Boellstorff, 2007).

Pada satu bagian, terminologi LSL dapat dilihat sebagai suatu reaksi pada bahasa yang telah dibangun di kebudayaan barat untuk menggambarkan dan/atau “memediskan” kegiatan seksual antara pria misalnya “gay”, “homoseksual”. Dan juga munculnya budaya “gay” di masyarakat Barat pada abad ke 20 telah mendorong anggapan bahwa orang digolongkan pada ‘gay’ (homoseksual) atau ‘straight’ (heteroseksual). Ini bisa benar untuk beberapa orang di beberapa belahan dunia, tapi bagi banyak pria, berhubungan seks dengan pria lain merupakan sebagian dari kehidupan seks mereka dan tidak menentukan identitas seksual atau sosial mereka.

Sejumlah LSL mungkin dapat tampak jelas di masyarakat dan dapat termasuk pria yang memakai pakaian wanita atau memakai sejumlah benda dari pakaian wanita. Namun LSL lain mungkin sama sekali tidak dapat dibedakan dari non LSL. Dimana ‘homoseksualitas’ tidak terlihat, kadang-kadang dianggap ia tidak ada, namun mungkin ini tidak benar. Kenyataannya, seks antar sesama pria terjadi di sebagian besar, bila tidak bisa disebut di semua masyarakat. Percakapan dalam publik yang menyangkal keberadaan kegiatan seks sesama jenis tidak merefleksikan apa yang terjadi di dunia nyata. LSL dapat termasuk yang berikut ini:

  1. Pria yang secara eksklusif berhubungan seks dengan pria lain.
  2. Pria yang berhubungan seks dengan pria lain tapi sebagian besarnya berhubungan seks dengan wanita.
  3. Pria yang berhubungan seks dengan pria maupun wanita tanpa adanya perbedaan kesenangan.
  4. Pria yang berhubungan seks dengan pria lain untuk uang atau karena mereka tidak mempunyai akses untuk berhubungan seks dengan wanita, misalnya di penjara, ketentaraan.
  5. Infeksi Menular Seksual (IMS) yaitu merupakan infeksi/penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual ( http://channels.dal.net/gim/aids/ims2.html).
  6. HIV (Human Immune-deficiency Virus) Virus yang  menyebabkan penyakit AIDS yang ada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu, dan cairan otak (http://www.spiritia.or, id).
  7. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan beberapa gejala akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (http://www.spiritia.or, id).
  8. Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul, dan penerangan-penerangan yang keliru (Soekanto, 2001 ; Notoatmodjo, 2003, 2005; Sudarma, 2008).
  9. Sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara aktif maupun pasif terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif, di samping konatif (kecenderungan bertindak) (Sarwono, 1993; Notoatmodjo, 2003, 2005; Sudarma, 2008).
  10. Perilaku Seksual adalah tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis (Notoatmodjo, 1990).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan Juni s/d Agustus 2011 di 10 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yaitu: Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kabupaten Pati, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui FGD (Fokus Grup Diskusi), WST (wawancara Semi Terstruktur), Interview, Observasi, Child History, SSN (Social Support Networking). Populasi penelitian ini adalah LSL di 10 Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah dan pemangku kepentingan yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK), LSM, Kepolisian, pihak Rumah Sakit, Tokoh Masyarakat, relawan dan pihak lain yang diperlukan. Validitas data menggunakan trianggulasi sumber dengan melakukan kroscek dari beberapa sumber yang masih berkaitan dengan masalah penelitian ini yaitu pengurus dan staff Yayasan Gessang, Dinas Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah, Komisi Penanggulangan AIDS di 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Puskesmas maupun Rumah Sakit yang memberi pelayanan IMS dan test VCT di 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

 

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

  1. A.    Hasil Penelitian
    1. 1.    Karakteristik dari responden dalam hal ini 140 orang yang termasuk dalam komunitas LSL di 10 Kabupaten atau Kota di Jawa Tengah:

Responden dalam penelitian ini berasal dari Batang, Cilacap, Juwana, Kabupaten Kendal, Kabupaten Semarang, Tegal, Kudus, Pati, Pekalongan, Purwokerto, Salatiga, Surakarta, Tayu, Kota Semarang. Umumnya LSL sering berkumpul di taman/jalan/terminal atau tempat terbuka. Hal ini dikarenakan LSL dapat bertemu, berkenalan, berkencan dengan sesama LSL. Akan tetapi LSL juga sering bertemu di tempat yang lain seperti kolam renang, pasar, mesjid dan sebagainya.

Responden dalam penelitian ini berusia antara 17 – 58 tahun. Jadi pada umumnya responden termasuk kategori usia/umur muda. Identifikasi diri, 63,6 % (89 responden) menyatakan dirinya sebagai gay ; 31,4 % (44 responden) menyatakan diri sebagai biseksual dan 4 responden mengidentifikasi dirinya sebagai heteroseksual. 38,6 % atau 54 responden berpendidikan akademi atau perguruan tinggi ; 49,3 % (69 responden) berpendidikan SLTA/sederajat ; 8,6 % (12 responden) berpendidikan SLTP/sederajat dan 2,9 % (4 responden) berpendidikan SD/sederajat.

22,9 % (32 responden) tidak bersedia memberitahukan pekerjaannya ; 15 % (21 responden) adalah mahasiswa ; 11,4 % (16 responden) bekerja sebagai karyawan ; 4,3 % (6 responden) bekerja di salon dan yang lainnya bekerja sebagai pedagang, pegawai swasta, Pria Pekerja Seks, penjaga toko/warnet, nelayan dan lain-lain. Penghasilan responden cukup bervariasi yakni minimum Rp. 300.000,- sampai dengan Rp. 15.000.000,-. Selain itu ada yang memperoleh penghasilan karena menjajakan seks (PPS). 56,4 % (79 responden) tidak menikah ; 19,3 % (27 responden) menikah dan 6,4 % (9 responden) adalah duda. Pada umumnya komunitas LSL di Jawa Tengah tidak mengkonsumsi narkoba sedangkan yang mengkonsumsi narkoba hanya 11,4 % (16 responden).

 

  1. 2.    Pengetahuan LSL tentang HIV dan AIDS, resiko dan upaya menghindari
  2. Sebanyak 97.1 % dari responden menyatakan pernah mendengar penyakit HIV dan AIDS dan 2.8% dari responden menyatakan tidak pernah mendengar penyakit HIV dan AIDS. Mayoritas komunitas LSL yang menjadi responden dalam penelitian ini pernah mendengar tentang HIV dan AIDS.
  3. 76.4 % responden menyatakan orang bisa mengurangi resiko tertular HIV dengan tidak melakukan seks anal, sedangkan 23.5% menyatakan tidak bisa mengurangi resiko tertular HIV dengan tidak melakukan seks anal. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden telah mengetahui bahwa seks anal sangat beresiko tertular HIV.
  4. 93.6% atau mayoritas responden menyatakan orang bisa mengurangi risiko tertular HIV dengan cara menggunakan kondom dengan benar setiap berhubungan seks anal. Sedangkan 6.4% menyatakan tidak.
  5. 85% atau mayoritas responden menyatakan bahwa orang tidak dapat tertular HIV dari gigitan nyamuk, 10% menyatakan bahwa orang dapat tertular HIV dari gigitan nyamuk, sedangkan 5% menjawab tidak tahu.
  6. 87.2% atau mayoritas responden menyatakan bahwa orang tidak dapat tertular HIV dari menggunakan pakaian dan alat makan secara bersama dengan orang yang terinfeksi HIV, sedangkan 7.1% menyatakan orang dapat tertular HIV dari menggunakan pakaian dan alat makan secara bersama dan 5.7% tidak tahu.
  7. 75% responden menyatakan orang dapat mencegah tertulari HIV dengan hanya mempunyai satu pasangan seks setia dan belum terinfeksi,sedangkan 20.8%  menyatakan orang tidak dapat mencegah tertulari HIV dengan hanya mempunyai satu pasangan seks setia dan belum terinfeksi, dan 4.3 % tidak tahu.
  8. 92.9% atau mayoritas responden menyatakan bahwa orang tertulari HIV melalui jarum suntik yang baru saja digunakan orang lain, sedangkan 4.2 % menjawab tidak dan ada 2.9 % responden yang tidak tahu.
  9. 10.7% mayoritas responden menyatakan dapat mengetahui orang terinfeksi HIV,dan 82.8% responden menyatakan tidak tahu
  10. 65.7% mayoritas responden menyatakan merasa berisiko tertular HIV,dan 10.7% responden menyatakan tidak tahu.
  11. 10.7% responden melakukan pekerjaan berisiko tinggi, 61.4%  menyatakan tidak melakukan pekerjaan berisiko tinggi, dan 27.9% tidak tahu.
  12. 50% responden menyatakan sering melakukan seks anal, sedangkan 34.3%  menyatakan tidak  sering melakukan seks anal, dan 27.9% tidak tahu.
  13. 53.6% responden menyatakan alasan tidak menggunakan kondom, sedangkan 32.2% tidak menyatakan alasan tidak menggunakan kondom, dan 14.3% tidak tahu.
  14. 12.1% responden menyatakan alasan memakai suntikan, sedangkan 54.3% tidak menyatakan alasan memakai suntikan, dan 33.6% tidak tahu.
  15. 24.3% responden menyatakan alasan selalu menggunakan kondom,sedang 27.1% menyatakan kadang menggunakan kondom, dan 48.6% tidak.
  16. 21.4% responden menyatakan alasan mempunyai pasangan bersih, sedang 78.5% tidak tahu.
  17. 12.9% responden menyatakan alasan tidak berhubungan seks dengan orang lain,sedang 32.1% tidak menyatakan alasan tidak berhubungan seks dengan orang lain, dan 55% tidak tahu.
  18. 99.3% responden menyatakan alasannya,sedang 0.7% tidak tahu.
  19. 62.1% responden menyatakan tahu tempat tes untuk mengetahui dirinya terinfeksi HIV atau tidak dan 37.9% tidak tahu.
  20. 32.9% responden menyatakan pernah melakukan tes HIV, sedang 61.4% tidak menyatakan pernah melakukan tes,dan 5.7% tidak tahu.
  21. 30.7% responden menyatakan melakukan tes atas kemauan sendiri, sedang 61.4% melakukan tes bukan atas kemauan sendiri, dan 7.9% tidak tahu.
  22. 31.4% responden menyatakan tahu hasil tes tersebut, sedang 60.7% menyatakan tidak tahu hasil tes tersebut. dan 7.9% tidak menjawab. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas MSM tidak tahu hasil tes VCT karena takut untuk mengambil hasil tes tersebut.
  23. 32.9% responden menyatakan pernah mendapat konseling pada waktu ikut tes HIV,sedang 67.1% tidak menjawab.
  24. 28.6% responden menyatakan rutin melakukan tes HIV, sedang 62.9% menyatakan tidak rutin melakukan tes HIV,dan 7.8% tidak tahu. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya komunitas LSL takut melakukan tes VCT dengan berbagai alasan, antara lain takut mengetahui hasilnya, hambatan waktu.

 

  1. 3.    Kondom Pria dan Pelicin
  2. 98.5% responden dapat menunjukkan kondom, sedang 1.4% tidak dapat menunjukkan kondom.
  3. 25.0% responden mempunyai kondom dan membawanya saat wawancara, sedangkan 71.5% tidak dapat menunjukkan kondom. Hal ini disebabkan karena lokasi wawancara berbeda-beda yakni : di rumah, di hotspot, di hotel dan sebagainya.
  4. Pada umumnya  responden terakhir memperoleh kondom dengan membeli di apotik (32.3%) dan memperoleh dari pekerja LSM lain yang mempunyai intervensi perubahan prilaku misalnya kepada waria (LSM Graha Mitra), PSK (LSM Spekham), dan petugas outreach dari Global Fund.
  5. Pada umumnya responden (59.3%) bisa mendapatkan kondom dengan mudah  misal dari apotik, LSM dan sebagainya, sementara itu beberapa responden mempunyai alasan tidak bisa memperoleh kondom karena terlalu mahal, toko/apotik terlalu jauh jaraknya/tutup, rasa malu untuk membeli kondom,tidak tahu bagaimana memperolehnya, tidak mau membawa.
  6. Terdapat 77.1% responden pernah menggunakan pelicin ketika melakukan seks anal, semantara itu 18.6% responden tidak pernah menggunakan pelicin ketika melakukan seks anal, dan sisanya (0.7 %) tidak tahu.
  7. Terdapat 37.9% responden mengunakan pelicin pada saat seks anal dengan pelicin berbahan dasar air (seperti KY Gel), 10% responden menyatakan bahwa pelicin yang digunakan saat seks anal adalah air ludah, selain itu ada 2,9% responden yang menyatakan bahwa pelicin yang digunakan saat seks anal adalah minyak. Sementara itu yang menarik adalah terdapat 42.8% (mayoritas responden) menggunakan pelicin yang berbahan dasar minyak seperti : hand body lotion (Citra, Marina, Viva, dan sebagainya).
  8. Terdapat 45% responden menggunakan kondom juga saat menggunakan pelicin, 43.6% responden tidak menggunakan kondom juga saat menggunakan pelicin. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden belum sadar akan pentingnya kondom dan pelicin bagi pencegahan dan penularan HIV dan AIDS. Namun mayoritas responden yakni 63.6% pernah dengar produk pelicin khusus yang dapat digunakan dengan kondom seperti : KY Gel, Sutra Lubrican, Konimex Gel.
  9. Terdapat 40% responden menggunakan produk pelicin khusus kondom pada sebulan terahir ini, 24.3 % selalu menggunakan produk pelicin khusus kondom dan 22.1% tidak pernah menggunakan produk pelicin khusus kondom, dengan alasan mahal (20.7%), malu membeli krim pelumas (22.9%), tidak tahu tempat memperolehnya (20%), dan merasa tidak perlu menggunakannya (20.7%)
  10. 140 responden (komunitas LSL di Jawa Tengah) menyatakan bahwa  tujuan menggunakan krim pelicin khusus kondom karena :

1)    Mengurangi nyeri/peradangan ada 85.7%(120) responden.

2)    Meningkatkankenikmatan/tahan lama ada 63.6%

3)    Mengurangi resiko kondom pecah 57.9%

4)    Mencegah infeksi HIV dan AIDS ada 64.3%

5)    Karena alasan lainnya (biar mudah masuk) ada 98.6%

  1. 140 responden yang dapat mengidentifikasi pelicin dan menunjukkan pelicin terdapat 72.6%(108 responden) ;20% (28 responden) tidak dapat mengidentifikasi pelicin dan tidak dapat menunjukkan pelicin, serta 2.9% (4 responden) tidak menjawab.

 

  1. 4.    Pasangan Seks dan Riwayat Seksual
    1. 140 responden yang tinggal dengan pasangan seks tetap ; 27.1%(38 responden) ;72.9% (102 responden) tidak tinggal dengan pasangan seks tetap. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas komunitas LSL cenderung tinggal sendiri karena masyarakat Indonesia pada umumnya belum dapat menerima kehidupan gay di lingkungannya dan fenomena ini mengisyaratkan bahwa komunitas gay senang berganti-ganti pasangan.
    2. Dari 140 responden yang tidak  mempunyai pasangan seks tetap yang tinggal bersama terdapat 80% (112 responden), 7.1% (10 responden) mempunyai pasangan tetap wanita yang tinggal bersama dan terdapat 12.9% (18 responden) yang mempunyai pasangan tetap pria yang tinggal bersama. Hal ini menunjukkan bahwa ada gay yang menikah dengan wanita dan ada yang mempunyai pasangan tetap pria. Jadi dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden tidak mempunyai pasangan seks tetap atau senang berganti-ganti pasangan. Hal ini berarti mereka beresiko tertular HIV dan AIDS karena tidak tahu status HIV dari partner seksnya. Sementara itu usia saat melakukan hubungan seks pertama kali dari 140  responden, yang tercepat pada usia  11 tahun dan  yang terlama melakukan hubungan seks pertama kali pada usia 25 tahun.
    3. Dari 140 responden yang pernah melakukan hubungan anal adalah 72.9% (102 responden) dan 27.1% (38 responden) tidak pernah melakukan seks anal. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden (LSL) melakukan hubungan seks anal dan beresiko tertular HIV dan AIDS. Seperti di ketahui bahwa dinding anus sangat tipis sehingga apabila dinding anus luka terjadi kemungkinan pertukaran cairan darah luka ke penis maupun cairan sperma ke luka di anus. Sedang yang di anal lebih beresiko karena menampung sperma. Oleh karena itu anal seks beresiko tinggi tertular HIV dan AIDS.
    4. Mayoritas responden (124 responden) atau 88.6 % dalam sebulan terahir ini pernah melakukan hubungan seks dengan pria dan 11.4% (16 responden) dalam sebulan terahir tidak pernah melakukan hubungan seks dengan pria. Adapun LSL yang pernah melakukan hubungan seks dengan pria dalam sebulan terahir ini rata-rata ada yang berhubungan seks dengan sejumlah pria bahkan ada yang berganti-ganti pasangan sampai 9 atau 10 orang. Fenomena ini menunjukkan bahwa komunitas LSL senang berganti-ganti pasangan (tidak dapat setia dengan pasangannya). Pada umumnya mereka (140 responden) yang melakukan seks anal dengan pria-pria tersebut terdapat 52.1 % (73 responden ). Hal ini berarti perilaku seksual mereka sangat rentan tertular HIV dan AIDS.
    5. Mayoritas responden yakni : 54.3% (75 responden) tidak menggunakan kondom saat terakhir kali seks anal dengan pria lain. Hanya 35 %(49 responden) yang menggunakan kondom saat terakhir kali seks anal dengan pria lain. Pada umumnya responden hanya 42.8% (60 responden) kadang-kadang menggunakan kondom saat melakukan seks anal dengan pria lain; adapun yang selalu menggunakan kondom saat melakukan seks anal dengan pria lain hanya 19,3 % (27 responden) bahkan 22.9% (32 responden) tidak pernah menggunakan kondom dalam  sebulan terakhir saat melakukan seks anal dengan pria lain.
    6. Mayoritas responden yakni 73.5% (103 responden ) melakukan seks oral dengan pasangannya. Akan tetapi juga terdapat 17.2 % ( 24 responden ) tidak pernah melakukan seks oral dengan pasangannya. Pada umumnya mayoritas responden tidak menggunakan kondom atau pelindung lainnya saat melakukan oral seks.

 

  1. 5.    Infeksi Menular Seksual
    1. Mayoritas responden dapat menyebutkan berbagai gejala penyakit pada pria yang ditularkan karena hubungan seks antara lain :

1)        Kencing nanah (86,4 % atau 121 responen)

2)        Nyeri /benjol disekitar kelamin (52,9 % atau 74 responden)

3)        Luka pada penis (68,5 % atau 96 responden)

4)        Bengkak pada lipat paha (40,8 % atau 57 responden)

5)        Nanah pada anus (52,9 % atau 74 responden)

6)        Luka pada anus (55,7 % atau 78 responden)

  1. Adapun dari 140 responden yang pernah mengalami gejala-gejala penyakit tersebut dalam setahun terakhir ini adalah:

1)        Pernah mengalami gejala-gejala penyakit kencing nanah terdapat 15 % atau 21 responden.

2)        Penyakit nanah pada anus ( 5 % atau 7 responden)

3)        Luka pada penis (12,1 % atau 17 responden)

4)        Penyakit tumbuhan kutil pada penis atau anus (2,9 % atau 4 responden)

  1. Adapun yang dilakukan oleh komunitas LSL saat mengalami gejala tersebut adalah sebagai berikut :

1)        Berobat ke petugas kesehatan (10,7 % atau 15 responden)

2)        Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati (92,7 % atau 121 responden)

3)        Melakukan pengobatan sendiri(a.l dengan anti biotik) (2,9 % atau 4 responden)

  1. Tempat berobat apabila komunitas LSL mengalami gejala tersebut adalah sebagai berikut : Rumah Sakit (5 % atau 7 responden), pustu atau puskesmas (2,1 % atau 3 responden), dokter praktek (2,1 % atau 3 responden), Klinik (0,7 % atau 1 responden) dan lainnya (88,6 % atau 124 responden) ada yang mengobati sendiri dengan antibiotik, jamu, atau obat lainnya.
  2. Dari beberapa responden yang mengalami gejala sakit kelamin mempunyai beraneka  ragam jawaban agar pasangan seks tidak tertular yaitu :

1)        Tidak melakukan hubungan seks dengan pasangan agar pasangan seks tidak tertular sebanyak 10.7% ( 15 responden).

2)        Pakai kondom saat melakukan hubungan seks agar pasangan seks tidak tertular 5.7%  (8 responden).

3)        Minum jamu/berobat sebelum berhubungan seks agar pasangan seks tidak tertular 2.1 % ( 3 responden).

4)        Pasangan diminta minum jamu/berobat sebelum berhubungan seks agar pasangan seks tidak tertular 7.1%  ( 10 responden).

5)        Mencari pertolongan medis agar pasangan seks tidak tertular 5.7%   ( 8 responden).

 

  1. B.      Pembahasan

Gambaran tentang pengetahuan, sikap dan perilaku seksual LSL dalam kaitannya dengan HIV dan AIDS di 10 Kabupaten atau Kota di Jawa Tengah cukup untuk dijadikan alasan tentang perlunya upaya membentuk sikap dan perilaku seksual yang sehat di kalangan LSL. Adanya  responden yang terinfeksi IMS dianalogikan sebagai besarnya peluang responden terinfeksi AIDS. Seperti  diketahui bahwa komunitas LSL merupakan komunitas yang rentan berpeluang terinfeksi AIDS. Dengan jaringan seksual responden yang demikian luas maka AIDS berpeluang untuk menyebar lebih luas lagi jika salah seorang anggota komunitas tersebut terinfeksi AIDS.

Akan tetapi bagaimana upaya pencegahan itu dapat dilakukan secara lebih efektif? Fokus perhatian dapat ditumpahkan pada bagaimana mengubah perilaku seksual responden (komunitas LSL) menjadi perilaku seksual yang lebih sehat dan aman dapat dijabarkan melalui beberapa indikasi sebagai berikut:

  1. Memiliki jumlah pasangan yang tertentu dan terbatas,
  2. Memiliki pasangan yang sehat.
  3. Mengurangi frekuensi berhubungan seks dengan pria pekerja seks, dan
  4. Mengunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual.

Bagaimanakah perilaku seksual itu dapat diubah? Temuan studi ini mengungkap beberapa sisi pesimis tentang upaya pencegahan dan perubahan perilaku seksual Komunitas MSM. Ungkapan-ungkapan responden yang menyatakan bahwa perilaku seksual komunitas gay cenderung bebas (sering berganti-ganti pasangan) mengindikasikan bertapa sulitnya mengubah perilaku seksual mereka.

Temuan tersebut dapat menjadi bahan refleksi terhadap berbagai upaya pencegahan IMS, HIV dan AIDS yang dilakukan selama ini. Upaya-upaya pencegahan yang hanya terfokus pada penyuluhan bukanlah kegiatan yang cukup efektif. Oleh karena itu, perlu dipertajam dengan kegiatan-kegiatan yang lebih terarah dan terfokus. Upaya pencegahan melalui penyuluhan hanya merupakan upaya untuk memberi tahu, tetapi tidak cukup untuk merubah perilaku. Kegiatan-kegiatan seperti itu masih menekankan pada luasnya sasaran, tetapi kurang memberikan dampak yang berkelanjutan. Proses kampanye yang searah yang umumnya dilakukan saat ini, baik melalui pamflet, poster, maupun iklan kurang memberikan dampak pada perilaku sasaran dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya.

Oleh karena itu upaya pencegahan dan penularan IMS, HIV dan AIDS perlu diadakan secara terfokus pada kelompok sasaran yang berisiko tinggi termasuk komunitas LSL. Perdebatan tentang kampanye AIDS perlu diarahkan kepada kelompok risiko tinggi atau seluruh masyarakat hendaknya tidak mengurangi pentingnya prioritas pada penduduk yang berisiko tinggi itu. Studi ini mengungkapkan bahwa komunitas LSL merupakan salah satu yang termasuk kelompok beresiko tinggi terinfeksi LSL dan HIV dan AIDS.

Fokus kegiatan pencegahan dan perilaku seksual di kalangan gay perlu diarahkan, tidak saja pada gay terbuka, tetapi juga dilakukan terhadap gay tertutup dan pria pekerja seks. Berangkat dari temuan seperti itu maka tampaknya sulit untuk mengubah perilaku individu tanpa mencoban mempengaruhi norma yangberlaku ditempat individu itu berada. Oleh karena itu fokus perhatian pertama dalam upaya mempengaruhi perubahan perilaku individu adalah mengubah norma-norma yang berlaku dalam komunitas LSL. Dalam kaitan ini perlu ada upaya pengenalan dan penanaman norma-norma baru yang berkaitan dengan perilaku seksual mereka. Norma-norma yang diperkenalkan adalah norma-norma yang memungkinkan mereka memiliki perilaku seksual yang sehat dan aman.

Upaya ini harus dilakukan dengan melibatkan secara penuh kalangan gay secara kolektif dengan mula-mula mendekati key persons diantara meraka. Gay yang pernah mengalami betapa sakitnya terkena IMS dan ODHA dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam memperkenalkan perubahan perilaku seksual mereka. Temuan studi ini mengungkapkan bahwa responden yang pernah mengalami IMS mulai mengubah perilaku seksualnya. Kesadaran mereka untuk mengubah perilaku seksual secara sukarela dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam mempengaruhi anggota komunitas lain. Hal ini dikenal dengan konsep Peer Educator (pendidik sebaya) (http://www.telaga.org).

Jika norma-norma baru telah diintrodusir, tetapi sulit bagi individu untuk mematuhinya, maka  individu yang tidak mematuhi norma baru akan memperoleh sanksi dari komunitasnya, misalnya dalam bentuk pengasingan atau cemoohan. Penerimaan komunitas terhadap norma baru dapat dimungkinkan jika proses pengenalan dilakukan dengan melibatkan secara penuh anggota komunitas sejak permulaan.

Proses perubahan perilaku bagi responden tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba dalam skala yang besar, tetapi dilakukan secara bertahap dengan memberikan pilihan yang realistis dan berkelanjutan. Sulit untuk mengharapkan responden tidak melakukan hubungan seksual dengan tanpa menggunakan kondom secara tiba-tiba sebab seperti di ungkapkan beberapa responden, hal itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Sebaliknya, barang kali akan lebih mudah jika perubahan perilaku seksual dilakukan dengan memperkenalkan lebih dulu penggunaan kondom. Selama ini responden enggan mengunakan kondom, namun dengan langkah-langkah yang lebih persuasif keengganan tersebut bisa dihilangkan. Proses tersebut berangsur-angsur akan tetap dilakukan sampai pada akhirnya mereka mengurangi jumlah pasangan atau bahkan menghentikan kegiatan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Jika sadar perilaku seksual yang aman dan sehat ini dapat diterima sebagai norma khusus, yang berlaku dalam komunitas responden, diharapkan ada semacam kontrol internal yang kuat terhadap individu-individu dalam komunitas tersebut.

Proses perubahan perilaku para gay di Australia yang diungkapkan Adam Carr (1993) menarik untuk dijadikan bahan pelajaran. Ada beberapa pelajaran yang bisa dibuat bahan refleksi dalam upaya mengubah perilaku seksual yang lebih sehat (http://www.cdc.ciov-gov).

Pertama : penyediaan informasi yang dilakukan secara sepihak tidaklah cukup. Pada awal 1980-an pihak pemerintah ataupun NGO melakukan kampanye penyebaran informasi tentang HIV dan AIDS untuk merangsang kesadaran mereka tentang penyakit tersebut. Beberapa kampanye dilakukan secara terbatas. Beberapa lainnya dilakukan secara luas dan terang-terangan. Namun, umumnya semuanya gagal dalam melakukan perubahan perilaku penduduk. Penelitian membuktikan bahwa seseorang tidak mengubah perilakunya secara sungguh-sungguh hanya atas kesadaran bahwa perilakunya mungkin membahayakan dirinya.

Penduduk yang berisiko terkena HIV hanya memperoleh informasi dan kampenye media massa telah gagal untuk melakukan perubahan perilaku seksualnya secara berarti. Pelajaran penting dari kenyataan ini bagi negara berkembang adalah bahwa kampanye melalui media secara besar-besaran dengan biaya yang mahal adalah sesuatu yang tidak efektif dalam membawa perubahan perilaku sasaran.

Kedua  : perubahan perilaku bukan semata-mata proses individual dalam menyerap informasi dan membuat keputusan rasional tentang perilakunya. Proses perubahan perilaku individu lebih merupakan hasil atas keanggotaan dirinya sendiri dari satu komunitas yang mengubah standar perilakunya dan mengharapkan perubahan perilaku anggotanya.

Contoh baik dalam hal ini adalah penggunaan kondom. Kebanyakan gay tidak suka menggunakan kondom, tetapi menerimanya bahwa mereka harus melakukannya. Bukan semata-mata dari keputusan rasional bahwa menggunakan kondom merupakan hal baik untuk menghindari HIV, melainkan karena sadar bahwa komunitas gay yang mereka miliki telah menerima norma bahwa menggunakan kondom merupakan perilaku standar yang harus dilakukan oleh setiap anggotanya. Sanksi bagi yang tidak menggunakan kondom bukan lah dalam bentuk terinfeksi HIV, tetapi berupa ketidaksetujuan dan pengasingan oleh pasangannya.

Satu pelajaran dari hal ini adalah bahwa kampanye yang didasarkan pada mobilisasi loyalitas dan identifikasi dengan komunitas tertentu memberikan harapan terbaik dalam perubahan perilaku seksual kelompok sasaran. Kesamaan kepentingan diantara anggota komunitas memungkinkan adanya keterikatan di antara anggota.

Ketiga : pesan perubahan perilaku harus memberikan kepada penduduk pilihan yang realistik dan berlanjut. Perubahan  tidak bisa dilakukan secara besar-besaran dalam waktu sekaligus. Perubahan hanya bisa dilakukan secara bertahap, serealistis mungkin, sesuai dengan kesiapan individu dan komunitas menerima perubahan tersebut. Ketika para gay dinasehati tentang abstain dari aktifitas seksual atau mengurangi secara drastis jumlah pasangannya, mereka gagal untuk mematuhi sebab perubahan tersebut terlalu besar untuk diserap dalam kehidupannya. Akan tetapi, ketika pesan yang disampaikan diubah dan difokuskan pada penggunaan kondom, tingkat penerimaan mereka menjadi tinggi. Mereka dapat mengakomodasi pesan tanpa terganggu kehidupannya.

Keempat : sumber informasi dan edukasi harus tersedia sedekat mungkin dengan penduduk yang menjadi target kampanye. Idealnya adalah sumber informasi dan edukasi menjadi milik penduduk yang beresiko terinfeksi.

Kampanye melalui media seperti poster atau leaflet kurang sempurna. Mereka gagal untuk berkomunikasi  secara efektif, khususnya dengan mereka yang tidak dapat dan tidak bisa membaca. Perubahan perilaku akan lebih efektif melalui pendidikan yang dilakukan oleh teman-teman sejawat secara horisontal (Peer Educator/pendidik sebaya) dibandingkan dengan pendidikan yang dilakukan secara vertikal oleh sumber informasi yang berwenang.

Materi tentang perilaku seksual, IMS dan AIDS sebenarnya sudah cukup banyak tersedia untuk dijadikan sebagai bahan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi). WHO, misalnya, telah banyak mengeluarkan cukup banyak publikasi yang terkait dengan IMS dan AIDS. Sebagian dari publikasi itu bahkan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Departemen Kesehatan. UNESCO juga menerbitkan empat modul materi yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam pendidikan seksual atau yang dikenal sebagai pendidikan orang dewasa (adolescence education). Beberapa lembaga juga telah mencoba mempublikasikan dalam bahasa Indonesia berbagai informasi yang berkaitan dengan IMS dan HIV dan AIDS. Persoalan kemudian adalah bagaimana mengemas lebih lanjut berbagai bahan tersebut dalam bahasa sehari-hari kelompok sasaran.

Beberapa pelajaran dari proses perubahan perilaku yang diuraikan oeh Adam Carr (1993) tersebut menarik untuk dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam mengkaji ulang upaya pencegahan IMS dan HIV dan AIDS yang selama ini dilakukan, utamanya dalam mempengaruhi perilaku seksual penduduk beresiko tinggi terinfeksi IMS dan HIV dan AIDS terutama komunitas LSL di 10 Kabupaten atau Kota di Jawa Tengah.

 

Penutup

  1. 1.        Kesimpulan

Agaknya memang tidak ada kata yang labih tepat dalam kehidupan reproduksi dan seksualitas komunitas LSL, selain bagaimana melakukan perubahan perilaku seks kaum ini. Perubahan prilaku diakui sebagai sebuah pekerjaan yang termat sulit dilakukan. Apalagi jika perilaku seks selama ini dilakukan telah diyakini secara turun temurun. Bukan berarti bahwa perubahan itu tidak mungkin dicapai. Jika usaha secara simultan, terus menerus dan terintegrasi dilakukan, maka kemungkinan besar akan hadir perubahan itu.

Akan tetapi satu pertanyaan yang cukup mendasar adalah seberapa jauh sebenarnya pemerintah, LSM atau lembaga-lembaga lainnya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas memiliki kepentingan serius terhadap komunitas LSL? Kami yakin bahwa selama kaum gay masih menjadi kaum tersisih, tanpa perhatian karena dianggap masih belum begitu penting serta belum banyak menimbulkan masalah maka selama itu pula akan menimbulkan banyak masalah, maka selama itu pula akan sulit diperoleh perubahan. Agaknya, ini menjadi sebuah utopia. Mengapa? Kita akan dihadapkan pada masalah moral. Jika penyelesaiannya sangat jelas, bahwa lelaki yang melakukan hubungan seks sejenis adalah dosa besar. Dengan demikian , tidak boleh ada orang yang menjadi gay. Moral ini memang teramat susah untuk dengan mudah dipisahkan dari berbagai disiplin ilmu, terutama dalam pendekatan ilmu sosial. Akhirnya, perdebatan tidak akan pernah selesai.

Yang penting dari hasil penelitian ini adalah bahwa kami mencoba membuka kesadaran bahwa ada perilaku seks dalam kehidupan LSL yang banyak mengandung resiko penyakit menular seksual atau penyakit kelamin dan memerlukan penanganan yang cukup serius.

  1. 2.        Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah LSL, maka ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan :

  1. Bagi LSL

Untuk merubah citra LSL dari cap buruk masyarakat mulailah kesadaran dari diri sendiri dengan merubah perilaku seksual yang tidak sehat ke perilaku seksual yang sehat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menerapkan teori A (Abstinence), B (Be Faithful), C (Use Condom), D (No Drug) dan E (Sterilization of Equipment) dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu agar LSL lebih peka terhadap informasi tentang IMS, HIV dan AIDS sehingga dapat mengerti bahaya IMS, HIV dan AIDS serta mengerti bagaimana perilaku seksual yang sehat dan aman.

  1. Bagi Keluarga LSL

Keluarga memiliki peranan penting dalam merubah perilaku seksual LSL sehingga yang bisa diharapkan dari keluarga LSL agar dapat mengenalkan dan mengingatkan norma dan nilai-nilai hubungan seksual yang sehat dan aman.

 

 

  1. Bagi Stakeholder Yang Berkaitan Dengan IMS, HIV dan AIDS

1)   Pemerintah harus senantiasa lebih memperhatikan kondisi yang terjadi pada LSL yang juga merupakan komunitas yang rawan terhadap penularan HIV dan AIDS.

2)   Dinas Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah untuk lebih intensif mensosialisasikan informasi tentang IMS, HIV dan AIDS beserta cara pengobatannya dan lebih menyediakan fasilitas kesehatan untuk pengobatan IMS, HIV dan AIDS dengan harga pengobatan yang terjangkau sehingga dapat mencegah cara pengobatan IMS yang salah apalagi jika penderita IMS tidak mau berobat karena alasan malu dan tidak kuat untuk membayar biaya obatnya.

3)   LSM-LSM yang terkait dengan IMS, HIV dan AIDS agar lebih gencar mensosialisasikan informasi tentang bahaya HIV dan AIDS di kalangan LSL. Sosialisasi yang dilakukan dibuat supaya lebih mengena di hati LSL dengan mencoba membangun diskusi-diskusi komunitas LSL dan sosialisasi tidak hanya sebatas menyebarkan brosur dan stiker saja.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Asia Pacific Coalition on Male Sexual Health. Defining “MSM”. (Serial Online) http://www.msmasia.org

 

Boellstorff, Tom. 2007. “Seksualitas dan Genetika”.  dalam HOMOLOGI. Surabaya: GAYa NUSANTARA

 

CDC Fact Sheet. HIV and AIDS among Gay and Bisexual Men. (serial online) http://www.cdc.ciov-gov/NCHHSTP/newsroom/docs/FastFacts-MSM-FINAL5Q8COM.pdf

 

Ditjen PPM & PL Depkes Rl. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d Juni 2012. (Serial Online) http://www.spiritia.or, id

 

Family Health International. Men Who Have Sex with Men in Phnom Penh, Cambodia (Population Size and Sex Trade). 2004. (Serial online) http://www.fhi360.org

 

Gunadi, Paul. Memahami Perilaku Homoseksual. (Serial online) http://www.telaga.org/audio/memahamiperilakuhomoseksual

 

Indonesia. Departemen Kesehatan. Direktorat  Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1995c. Petunjuk pencegahan penularan Human Immuno Deficiency Virus (HIV) secara seksual. Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan. (WHO.AIDS Seri 6).

 

Komisi Penanggulangan AIDS. Situasi HIV & AIDS di Indonesia, (Serial online) www.icaap9.org.

 

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. llmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta: Jakarta.

 

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta: Jakarta.

 

Sarwono, Solita, 1993. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

 

Soekanto, Soerjono. 1987. “Sosiologi: Suatu Pengantar”. Jakarta: CV Rajawali.

 

Sudarma, Momon, 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Salema Medika.


[1] Dosen Jurusan Sosiologi FISIP UNS, Ketua Program Studi Magister Sosiologi Program Pascasarjana UNS dan Pembina Yayasan Gessang Surakarta