TERORISME : RISIKO NYATA KEHIDUPAN MASYARAKAT KOTA

Dr. Argyo Demartoto, M.Si[1]

 

  1. A.      Pengantar

Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi actual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi terorisme sebagai musuh internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.

Terorisme seakan sudah menjadi kata yang kian akrab bagi masyarakat Indonesia. Berbagai rentetan aksi terorisme telah terjadi di Indonesia, sejak Bom Bali I tahun 2002 hingga kini seakan seperti bom waktu peristiwa itu selalu saja terjadi. Beberapa peristiwa teror terbaru yang pastinya masih lekat di ingatan kita semua, seperti aksi teror yang beberapa kali terjadi di Kota Solo dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Pada 17 Agustus 2012 warga kota Solo digemparkan oleh peristiwa penembakan Pos Pengamanan Polisi di Gemblegan serta pelemparan petasan pada Pos Polisi Gladak yang terjadi pada malam sebelum hari Idul Fitri. Puncak dari aksi teror tersebut  pada Jumat malam 31 Agustus 2012 dimana  terjadi aksi penembakan di Pos Polisi Singosaren  menewaskan seorang anggota kepolisian (http://hukum.kompasiana.com).

Terorisme menjadi suatu ancaman nyata masyarakat saat ini. Aksi teror menyasar berbagai tempat dan kalangan, mulai dari tempat hiburan, restoran, hotel, tempat ibadah dan bahkan pos pengamanan yang dijaga polisi sekalipun tidak luput menjadi sasaran. Terorisme  juga menyasar berbagai daerah, tidak hanya kota-kota besar seperti Denpasar dan Jakarta saja,bahkan kota yang seperti Cirebon dan Solo juga tempat sasaran para teroris. Terorisme layaknya benih tanaman yang sudah di tanam dan berhasil tumbuh di berbagai tempat. Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian besar bahwa terorisme kini bukan lagi mengancam keamanan nasional, keamanan ibukota saja namun lebih jauh telah menjadi ancaman nyata seluruh masyarakat di setiap wilayah perkotaan, bahkan kota-kota kecil.

Belakangan diketahui bahwa kecenderungan aksi teror di Indonesia mengarahkan sasarannya di wilayah perkotaan, baik kota-kota besar ataupun kota-kota kecil. Lebih dari itu diketahui pula beberapa kota juga menjadi basis kelompok dan jaringan teroris seperti Kota Solo, Cirebon dan bahkan Jakarta. Hal tersebut terbukti dengan penangkapan para terduga teroris di kota-kota tersebut oleh aparat kepolisian. Fakta tersebut menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam mengapa wilayah perkotaan tidak saja menjadi sasaran aksi terorisme bahkan menjadi tempat nyaman bagi mereka menyebarkan ideologi mereka hingga dapat dengan leluasa merekrut anggota-anggota baru. Untuk itu makalah ini dimaksudkan untuk dapat menguak dibalik terorisme di perkotaan serta dampaknya bagi masyarakat perkotaan.

 

  1. B.       Pengertian Terorisme, Kota dan Teori Masyarakat Risiko

Sebelum melihat keterkaitan terorisme dan perkotaan, terlebih dahulu mengenal masing-masing definisinya.

  1. 1.    Pengertian Terorisme

Terorisme menurut Webster’s New School and Office Dictionary, terrorism is the use of violence, intimidation, to gain to end, especially a sistem of government ruling by terror, pelakunya disebut terorist. Selanjutnya sebagai kata kerja terrorize is to fill with dread or terror, terrify; to intimidate or coerce by terror or by threats of terror. (Wilder, 1962 : 274)

Terorisme menurut ensiklopedia Indonesia tahun 2000, Terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptakan suasana ketakutan dan bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau internasional terhadap suatu aksi maupun tuntutan.

Rumusan mengenai definisi terorisme pun telah dirumuskan dalam konvensi PBB tahun 1989 yang menyebutkan bahwa terorisme ialah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teror ialah rasa takut yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang (Pusat Bahasa Indonesia, 1991 : 654). Terorisme berarti suatu kegiatan yang menimbulkan tekanan dan ketakutan.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mendefinisikan terorisme sebagai segala aksi yang sesuai dengan tindak kriminal yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 mengenai Aksi Terorisme Kriminal. Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara, dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional (UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I, pasal 1).

Dari berbagai definisi yang diuraikan diatas kebanyakan dari definisi mengenai terorisme ini pada dasarnya adalah sama yaitu penggunaan kekerasan yang menimbulkan kekerasan yang menimbulkan ketakutan dan kerugian tetapi perbedaanya pada cara penitikberatannya.

Terorisme selalu identik dengan kekerasan, dam merupakan puncak dari kekerasan. Terorisme dapat juga diartikan menakut-nakuti atau menyebabkan ketakutan, sedangkan teroris berarti orang atau pihak yang selalu menimbulkan ketakutan pada pihak lain (Arifatul, 2007:14). Terorisme adalah suatu tindakan yang mempunyai ciri-ciri tertentu , antara lain :

  1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant
  2. Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal untuk mencapai tujuan.
  3. Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama, hukum dan HAM.
  4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
  5. Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan, pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.

Terorisme adalah tindakan yang berwajah ganda, karena bentuknya yang diwujudkan dengan berbagai cara, baik berupa teror fisik maupun teror mental.  Teror fisik yaitu teror untuk menimbulkan ketakutan, kegelisahan melalui sasaran fisik jasmani dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penyanderaan penyiksaan dsb, sehingga nyata-nyata dapat dilihat secara fisik akibat tindakan teror. Sementara teror mental menggunakan segala macam cara yang bisa menimbulkan ketakutan dan kegelisahan tanpa harus menyakiti jasmani korban (psikologi korban sebagai sasaran) yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tekanan batin yang luar biasa akibatnya bisa gila, bunuh diri, putus asa dan sebagainya (Andalas, 2010: 29).

Terorisme merupakan kejahatan dan ancaman serius terhadap kemanusiaan dan peradaban manusia, keutuhan dan kedaulatan suatu negara. Tindakan terorisme merupakan suatu tindakan yang terencana, terorganisir dan berlaku dimana saja dan kepada siapa saja. Tindakan teror bisa dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai kehendak yang melakukan, yakni teror yang berakibat fisik dan/atau non fisik (psikis). Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka.

Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Indonesia tergolong negara yang sering menjadi sasaran aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah beberapa kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan nyawa.

Setiap aksi terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan nyawa. Terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi, berwujud pada kebencian terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan, sehingga nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Kedua, alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup karena masih banyaknya orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera.

 

 

  1. 2.    Pengertian Kota

Sementara itu, berbagai definisi kota dikemukan oleh para ahli, salah satunya menurut Prof. Drs. R. Bintarto, kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. Selain itu, Wirth mendefinisikan kota sebagai suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya (Bintarto, 1984). Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwasanya kota adalah suatu tempat atau wilayah yang ditempati atau dihuni oleh sekumpulan orang-orang/masyarakat yang bebeda-beda (Heterogen) baik dari sisi adat istiadat, ekonomi/materi, agama dan lain sebagainya.

 

  1. 3.    Teori Masyarakat Risiko

Dalam tesis karyanya, Risk Society : Toward a New Modernity Ulrich Beck menjelaskan beberapa konsep penting seperti risiko, efek boomerang dan refleksivitas. Beck menjelaskan ”risiko” (risk) sebagai, “kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual” (Beck, 1992). Setidaknya terdapat tiga macam risiko yang di sebutkan oleh Beck, antara lain :  risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), risiko sosial (social risk), dan  risiko mental  (psyche risk) (Beck, 1992) .

Risiko fisik-ekologis yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya, contohnya : gempa, tsunami, letusan gunung) atau risiko yang diproduksi oleh manusia (man made risks). Sementara risiko sosial yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri. Risiko mental hancurnya bangunan psikis, berupa perkembangan aneka bentuk abnormalitas, penyimpangan (deviance) atau kerusakan psikis lainnya, baik yang disebabkan faktor eksternal maupun internal.

Terkait dengan hal tersebut adalah konsepnya mengenai “efek boomerang”, yang merupakan pengaruh sampingan dari risiko yang dapat menyerang kembali ke pusat pembuatnya. Walaupun modernisasi lebih  dahulu  menghasilkan  risiko,  namun  ia akan juga menghasilkan refleksivitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan  dirinya  sendiri  dan  risiko  yang  dihasilkannya  ( Ritzer  dan Goodman, 2003 : 563 ). Dalam realita, sering kali rakyat atau korban dari risiko itu sendiri mulai merefleksikan risiko modernisasi tersebut. Selanjutnya mereka mulai mengamati dan mengumpulkan data tentang risiko dan akibatnya. Oleh karena itu, refleksivitas baik berbentuk pikiran, renungan, sikap maupun tindakan akan berperan dalam mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-dampak atau akibat-akibat dari risiko.

 

  1. C.      Pembahasan
    1. 1.    Terorisme : Risiko Nyata Kehidupan Masyarakat Kota

Fakta yang telah terjadi memperlihatkan keterkaitan antara terorisme dan kota. Hal ini terjadi karena kecenderungan wilayah perkotaan yang menjadi sasaran dan basis jaringan para teroris. Misteri tersebut dapat terjawab dengan menggunakan analisis masyarakat risiko yang diperkenalkan oleh Ulrich Beck.

Terkait dengan terorisme, maka terorisme ternyata menempati posisi yang istimewa karena beroperasi di tiga ekologi risiko baik fisik, mental dan sosial. Terorisme sangat jelas menjadi salah satu risiko fisik, karena korban dan pelakunyanya sering mengalami kerusakan fisik seperti kecacatan atau bahkan kehilangan nyawa. Terorisme juga menyebabkan kerusakan psikis bagi pelaku dan korbannya, bagi pelakunya ideologi terorisme membuat mereka melakukan penyimpangan seperti membenarkan tindakan kriminal dan merugikan orang lain, dan bagi para korbannya mengalami kerusakan psikis seperti ketakutan, trauma, paranoid dan bahkan gangguan mental lainnya. Sementara itu, adanya terorisme jelas menandai adanya risiko sosial, dan juga menjadi risiko sosial itu sendiri karena para pelaku teror atau teroris jelas mengancam bangunan sosial dengan mengedepankan  tindakan mereka yang penuh egoisme dan immoralitas.

Keterkaitan kota dan terorisme dapat dijawab dengan adanya risiko sosial. Dalam hal ini risiko sosial yang dimaksud bukan hanya yang diakibatkan oleh terorisme, melainkan risiko sosial dari hasil perkembangan seperti industri dan teknologi terhadap masyarakat khususnya masyarakat perkotaan. Disadari atau tidak, perkembangan industri dan teknologi  begitu pesat di kota dibanding di desa. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai karakteristik kota dan masyarakatnya  yang heterogen dan mengakibatkan pengaruh perkembangan zaman menjadi cepat mempengaruhi tindakan dan bahkan kebiasaan masyarakat kota.

Masyarakat kota sering disebut sebagai mass society yang memiliki karakteristik tertentu yaitu para anggotanya yang saling terpisah, tidak saling mengenal, lebih terikat karena kontrak daripada kekeluargaan, hubungannya serba lugas, lepas dari pribadi dan sentimen, tanpa ikatan tradisi dan tanpa kepemimpinan mapan (Daldjoeni, 1997 :10). Beberapa karakteristik tersebut berpotensi besar menumbuhkan penyakit-penyakit sosial seperti ketidakpedulian dan egoisme. Individualisasi di kota menjadi kenyataan karena interaksi mereka terbatas karena hubungan timbal balik yang diikat perjanjian dan berorientasi pada keuntungan semata. Selain itu, keadaan tersebut diperparah dengan kontrol atau pengawasan yang lemah karena mereka umumnya tidak begitu peduli dan ambil pusing perilaku anggota masyarakat lainnya selagi tidak menggangu kepentingannya. Hal –hal tersebut merupakan alasan mengapa terorisme menjadi risiko yang nyata bagi masyarakat perkotaan.

 

  1. 2.    Dampak Terorisme

Terorisme sendiri pada akhirnya juga akan menghasilkan berbagai dampak, baik negatif maupun positif bagi masyarakat. Dampak negatif tersebut selain kerusakan fisik, mental serta sosial masyarakat secara umum, juga akan merusak sektor ekonomi dan sektor pariwisata wilayah sasaran. Isu keamanan sangat berpengaruh dalam sektor pariwisata, karena dapat menyebabkan wisatawan enggan berkunjung ke wilayah yang terjadi aksi teror. Masih hangat dalam ingatan bagaimana sektor pariwisata di Bali begitu terpuruk karena penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung pasca Bom Bali I dan II. Hal itu juga yang terjadi di Kota Solo pasca rentetan aksi teror beberapa bulan lalu, yang menyebabkan pembatalan dan pemunduran jadwal kunjungan wisatawan di Kota Solo yang diungkapkan oleh salah satu biro perjalanan di Solo yaitu Manajer Mandira Tour, Ponco Akhiryanto (http://www.tempo.co).

Dampak negatif terorisme juga mengancam sektor ekonomi khususnya dalam investasi, sangat mungkin para investor menjadi ragu berinvestasi karena faktor keamanan yang tidak terpenuhi. Senada dengan hal tersebut, Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Ekonomi Daerah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Surakarta, Liliek Setiawan mengatakan fenomena terorisme Solo mulai berdampak pada sektor TTI, yakni tourism, trading, and investment yang pasti akan terpukul. Kalau tidak bisnis pariwisata mandek, tidak akan tercipta transaksi perdagangan. Hal ini akan berdampak pada investasi yang tersendat (http://www.suaramerdeka.com)

Ternyata terorisme tidak saja melahirkan berbagai dampak buruk dengan berbagai kerusakan yang ditimbulkannya. Di lain sisi, terorisme juga dapat melahirkan dampak positif. Dampak positif yang dimaksud adalah lahirnya “refleksivitas” yang juga merupakan salah satu konsep masyarakat risiko Beck. Ia menamakan masyarakat risiko tersebut muncul dalam modernitas refleksif  yang merupakan proses individualisasi yang kini terjadi di Barat. Di dalamnya agen-agen  semakin bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat dimana mereka hidup (Ritzer dan Goodman, 2005 : 562). Refleksivitas memungkinkan seseorang untuk mempertanyakan pada dirinya sendiri  dan risiko yang dihasilkannya. Oleh karena itu, secara sederhana refleksivitas dapat diartikan sebagai pemantauan rutin anda sendiri dan perilaku anda agar dapat memutuskan siapa anda dan bagaimana anda hidup (Jones, 2008 : 281) .

Terorisme sendiri adalah risiko, yang menimbulkan berbagai kerusakan yang menjangkau aspek fisik, sosial dan mental masyarakat. Setiap risiko akan melahirkan refleksivitas, begitupun terorisme yang juga akan melahirkan refleksivitas juga. Dalam hal ini yang kemudian lahirlah refleksivitas masyarakat kota akan terorisme sebagai risiko.  Refleksivitas tersebut  berwujud upaya dalam hal  mengatasi risiko, baik mengurangi, maupun meminimalisir atau bahkan mencegah. Berbagai sikap dan disertai tindakan yang dilakukan adalah peningkatan keamanan kota yang menjadi tanggung jawab bersama dari aparat keamanan, hingga masing-masing anggota masyarakat kota itu sendiri. Contoh dari refleksivitas tersebut seperti mengadakan operasi keamanan yang dilakukan aparat keamanan terkait tiap waktu tanpa hanya menunggu momen tertentu seperti hanya dilakukan pasca adanya aksi teror atau saat penangkapan terduga teroris. Tempat-tempat dan berbagai fasilitas publik hendaknya dipasangi perangkat deteksi logam berbahaya dan juga kamera pengawas atau CCTV.

Terorisme sebenarnya merupakan buah dari risiko sosial kehidupan modern masyarakat kota yang penuh ketidakpedulian. Hal inilah yang sebenarnya menjadi titik penting refleksivitas terhadap terorisme, dan sayangnya justru terlupakan hingga tidak begitu disentuh oleh masyarakat kota. Oleh karena itu, refleksivitas masyarakat kota terhadap terorisme yang paling esensial adalah menumbuhkan kepedulian diantara anggota masyarakatnya. Dengan adanya rasa saling peduli antara para anggota masyarakatnya akan mempersempit celah para teroris untuk melancarkan aksinya karena setiap perkembangan yang terjadi di lingkungan masing-masing dapat dipantau dan diperhatikan, termasuk para pendatang di kota.

 

 

  1. 3.    Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme

Peristiwa terorisme yang terjadi dibeberapa kota di Indonesia meninggalkan pekerjaan rumah besar kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia agar kedepan tidak saja perlu meningkatkan kewaspadaan tetapi juga pentingnya secara lebih strategis membangun upaya-upaya pencegahan dan penangkalan ancaman terorisme secara komprehensif dimana seluruh komponen masyarakat perlu lebih dilibatkan secara sinergis.

Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian di dalam merumuskan mekanisme pencegahan dan pemberantasan serta penanganan terorisme di Indonesia adalah : Pertama, perbaikan terhadap produk hukum dasar, sebagai akibat dari adanya perkembangan masalah terorisme setelah ditetapkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 dan UU No 16 Tahun 2003 sehingga perlu mendapat perhatian untuk dikaji lebih lanjut. Kedua, koordinasi antara badan-badang intelijen militer dan kepolisian merupakan suatu keharusan didalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan terorisme. Ketiga, karena sifat organisasi terorisme yang transnasional maka kerjasama baik pada level bilateral maupun multilateral dalam rangka upaya memberantas terorisme adalah suatu langkah yang mutlak harus dilakukan. Keempat, diperlukan identifikasi dan analisis yang mendalam berkaitan dengan akar persoalan utama (root causes) dari setiap insiden teror. Kelima, didalam kaitannya dengan point pertama, sebagai pemerintahan yang demokratis maka pemerintah perlu menunjukkan ketegasan politik di dalam menjaga keberlangsungan hukum di dalam setiap upaya memberantas terorisme. Keenam, didalam menjalankan berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan serta penanganan terorisme, pemerintah harus sedemikian rupa berupaya mendapat dukungan publik.

Dalam menghadapi ancaman maupun perang melawan terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mengorganisir seluruh kekuatan untuk lebih efektif dan efisien, dan melakukan peningkatan setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi ancaman terorisme saja pemerintah harus lebih meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan terorisme pemerintah berkewajiban untuk memberikan penanggulangan dn perlindungan terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan maupun secara hukum, karena dengan membantu dan merehabilitasi para korban, memperkecil rasa takut (traumatis) masyarakat disamping meningkatkan kewaspadaan dan partisipasi masyarakat dalam melawan terorisme yang semakin meningkat.

 

  1. D.      Penutup

Terdapat keterkaitan antara terorisme dan kota yang terlihat dari kecenderungan wilayah perkotaan yang menjadi sasaran dan basis jaringan para teroris. Keterkaitan tersebut dijelaskan melalui beberapa konsep  dari analisis masyarakat risiko seperti “risiko” dan “refleksivitas” yang diperkenalkan oleh Ulrich Beck. Terkait dengan terorisme, maka terorisme ternyata menempati posisi yang istimewa karena beroperasi di tiga ekologi risiko baik fisik, mental dan sosial.

Keterkaitan kota dan terorisme dapat dijawab dengan adanya risiko sosial. Dalam hal ini risiko sosial yang dimaksud bukannya yang diakibatkan oleh terorisme, melainkan risiko sosial dari hasil perkembangan seperti industri dan teknologi terhadap masyarakat  khususnya masyarakat perkotaan. Beberapa karakteristik masyarakat kota yang sarat akan individualitas berpotensi besar menumbuhkan penyakit-penyakit sosial seperti ketidakpedulian, dan egoisme yang pada akhirnya memberikan celah para teroris melakukan aksinya.

Terorisme sendiri memberikan dampak negatif dan dampak positif. Dampak negatif terorisme antara lain merusak aspek fisik, mental dan sosial manusia secara umum, dan tentunya juga dapat merusak sektor pariwisata, dan ekonomi wilayah sasaran terorisme. Sementara itu, dampak positif terorisme adalah menghasilkan refleksivitas yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk dapat mengatasi risiko, baik mengurangi, maupun meminimalisir atau bahkan mencegahnya.

Terorisme sebagai suatu fenomena kehidupan, nampaknya tidak dapat begitu saja ditanggulangi dengan kebijakan penal. Hal ini karena, terorisme terkait dengan kepercayaan/ideologi, latar belakang pemahaman politik dan pemaknaan atas ketidakadilan sosio-ekonomik baik lokal maupun internasional. Oleh karena itu, perlu sebuah pendekatan kebijakan kriminal yang integral dalam arti baik penal maupun nonpenal sekaligus. Oleh karena itu, tertangkapnya para teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas dimana terorisme lokal telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan terorisme global.

Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan teroris mengharuskan kita untuk melakukan sinergi upaya secara komprehensif dengan pendekatan multiagency, multi internasional dan multi nasional. Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Andalas, Mutiara. 2010. Politik Para Teroris. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

 

Beck, Ulrich. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity. London : Sage Publications

 

Bintarto, R. 1984. Interaksi Desa-Kota Dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia Indonesia

 

Daldjoeni, N. 1997. Seluk Beluk Masyarakat Kota : Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial. Bandung : PT. ALUMNI

 

Fauzi, Arifatul Choiri. 2007. Kabar-Kabar Kekerasan Dari Bali. Yogyakarta: LKiS

 

Jones, Pip. 2008. Pengantar Teori- Teori Sosial : dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

 

Pusat Bahasa Indonesia. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

 

Ritzer, George dan  Douglas J. Goodman.  2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.

 

Wilder, Noah. 1962. Webster’s New School & Office Dictionary. New York : The world publishing company.

 

 

Sumber Internet :

 

http://hukum.kompasiana.com/2012/09/05/warga-kota-solo-melawan-teror-484357.html Diakses tanggal 9 Desember 2012

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme) Diakses tanggal 9 Desember 2012

 

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/09/23/130709/Terorisme-Dikhawatirkan-Guncang-Pariwisata Diakses tanggal 9 Desember 2012

 

http://www.tempo.co/read/news/2012/09/04/199427310/Teror-Pengaruhi-Pariwisata-Solo Diakses tanggal 9 Desember 2012

 


[1] Dosen Jurusan Sosiologi FISIP UNS, Ketua Prodi Magister Sosiologi Program Pascasarjana UNS.