Perjuangan TKW di Luar Negeri : Merajut Asa dengan Bayangan Perangkap Perdagangan Manusia

Dr. Argyo Demartoto, M.Si

 

PENDAHULUAN

Kemiskinan seakan telah menjadi kata yang akrab kita dengar selama ini. Bahkan dengan mudah dapat kita katakan bahwa kemiskinan telah menjadi suatu realitas yang ada dimana-mana. Di Indonesia, kemiskinan dapat kita temukan di berbagai tempat atau kawasan, mulai dari ibukota dan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan lainnya, hingga pelosok desa di pedalaman Nusa Tenggara Timur, Papua dan lainnya. Dengan kata lain, kemiskinan kini telah menjadi suatu realitas yang ada dan kita rasakan di negeri ini dan parahnya keadaan tersebut merupakan cerminan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Kemiskinan merupakan suatu masalah yang amat kompleks, tidak hanya menyangkut aspek ekonomisnya saja, namun juga berkaitan dengan berbagai aspek-aspek lainnya seperti aspek sosial dan kekuasaan. Kemiskinan tidak hanya diartikan  mengalami ketidakberdayaan secara ekonomi, tetapi turut mengalami ketidakberdayaan pada aspek tertentu, tepatnya pada kekuasaan sosial. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh John Friedman (1979) bahwa kemiskinan merupakan ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial, dan basis kekuasaan sosial itu meliputi : 1. modal yang produktif atau  asset (tanah, perumahan, peralatan kesehatan), 2. sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), 3. organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (parpol, koperasi), 4. network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai  dan, 5. informasi–informasi yang berguna bagi kehidupan   (teknologi informasi)  (Suyanto, 1995 : 207).

Berdasarkan penjelasan di atas dan realitas yang ada selama ini menunjukkan bahwa kemiskinan pada akhirnya mengurung para korbannya di suatu kubangan gelap yang penuh dengan penindasan karena ketidakberdayaan. Mereka yang menjadi korban kemiskinan sebagian besar berasal dari negara-negara  berkembang atau negara  ketiga. Tidak mengherankan jika hal tersebut dapat terjadi karena selama ini memang negara-negara tersebut yang dikenal sebagai negara tertinggal dan terbelakang. Namun begitu, jika kita telaah lebih lanjut dapat ditimbulkan kejanggalan dengan hanya mendasarkan anggapan itu secara mentah-mentah. Sadar atau tidak, kemiskinan yang menimpa dunia ketiga lebih kentara seperti suatu rencana yang didesain pihak-pihak tertentu secara sengaja ketimbang minimnya sumber daya alam yang dimiliki negara tersebut. Terkait hal tersebut, Jon Sobrino melalui karyanya A Historical Theological View mengungkapkan dua perspektif untuk menelaah keberadaan orang miskin sebagai rakyat tertindas. Pertama, pada tataran faktual, kemiskinan di dunia ketiga ternyata tidak hanya menyebabkan penderitaan yang tak berkesudahan, melainkan juga kematian manusia sebelum waktunya. Kedua, pada tataran historis-etis, penderitaan kaum miskin dan tertindas itu disebabkan oleh struktur-struktur yang tidak adil baik di tingkat lokal maupun global yang lebih jauh telah menghasilkan kekerasan yang melembaga dan korban pertamanya adalah mereka yang lemah dan miskin (Sobrino, 1993).

Era globalisasi yang digadang-gadang dapat memperbesar kesempatan memperoleh kesejahteraan justru berujung kekecewaan. Bagaimana tidak, dibalik keuntungan yang hanya dapat dinikmati segelintir penguasa, pil pahit globalisasi akan diderita sebagian besar umat manusia. Seperti yang diungkapkan Samir Amin melalui karyanya Capitalism in the Age of Globalization tahun 1997, bahwa  globalisasi justru menghadirkan jurang ketimpangan yang teramat dalam, ketimpangan sosial dan ekonomi antara yang kaya dan miskin, negara di Utara dan di Selatan (Amin, 1997).

Diantara orang-orang yang menderita akibat kemiskinan dalam era globalisasi, melahirkan fakta yang begitu memprihatinkan. Hal yang dimaksud adalah kaum perempuan. Berbagai data memang menunjukkan bahwa perempuan menjadi pihak yang paling menderita karena kemiskinan. Menurut PBB, 1/3 dari penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara itu sekitar 70 % dari mereka adalah perempuan (Cahyono, 2005 : 4). Hal tersebut disebabkan adanya ketimpangan berbagai akses bagi perempuan, terutama dari segi pendidikan, ekonomi dan politik atau kekuasaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemiskinan lebih identik dengan sosok perempuan ketimbang laki-laki.

Perempuanpun tidak tinggal diam  dalam menghadapi kemiskinan meski dengan berbagai keterbatasannya. Salah satu yang mereka perjuangkan adalah segi ekonomi. Dalam hal ini, perempuan yang sebelumnya hanya berkecimpung dalam ranah domestik yang secara ekonomis tidak dianggap produktif mulai mendobrak dominasi tatanan sosial budaya dengan menjadi pekerja di ranah publik. Meskipun begitu, lagi-lagi perempuan harus menelan pil pahit kesenjangan gender dari laki-laki dalam segi memperoleh pekerjaan yang layak. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Tahun 2009 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 68,86 persen, dimana laki-laki mempunyai TPAK yang lebih besar daripada perempuan yaitu 85,93 persen dibandingkan 50,68 persen.

Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya kaum perempuan di Indonesia mencari alternatif pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya, dan salah satunya adalah menjadi tenaga kerja di luar negeri. Padahal dalam proses untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri tidak selamanya berjalan baik. Banyak hal yang menampilkan realita memprihatinkan bagi tenaga kerja, khususnya bagi tenaga kerja perempuan.

Ketika menyebut TKW (Tenaga Kerja Wanita), maka persoalannya bukan sekedar bagaimana angka-angka rupiah mereka dapatkan, melainkan disana mereka juga sangat berisiko menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). Sudah menjadi rahasia umum bila dalam prakteknya para majikan dan pihak lain dalam mempekerjakan TKW tercium bau eksploitasi yang memposisikan kaum permpuan dalam posisi subordinatif tertindas, dan teraniaya. Bentuk penganiayaan dan penindasan itu bisa lebih diperparah dengan begitu banyak para aktor yang bermain di sekitarnya. Celakanya, para aktor ini kebanyakan adalah kaum laki-laki. Mereka adalah para calo yang beroperasi mencari kaum perempuan (biasanya di desa dan di lingkungan miskin). Biro-biro tenaga kerja yang mengirimkan mereka ke luar negeri, dan para tukang tadah yang menunggui kepulangan mereka untuk merampas semua hasil kerja para TKW ini. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengupas terkait upaya-upaya kaum perempuan menghadapi kemiskinan dengan bekerja menjadi TKW di luar negeri dengan ancaman nyata perangkap perdagangan manusia.

 

PEMBAHASAN

  1. A.       Globalisasi dan Tenaga Kerja Wanita

Dalam konteks yang lebih kontemporer, aktivitas migrasi diartikan sebagai suatu perubahan tempat tinggal, baik permanen maupun semi permanen yang dapat mencakup pendatang, imigran pekerja kontemporer, pekerja tamu, mahasiswa maupun pendatang ilegal yang menyebrangi suatu batas wilayah negara. Migrasi antar negara merupakan bentuk manifestasi dari kebebasan melakukan pilihan ekonomi sebagai konsekuensi leburnya sistem ekonomi lokal ke dalam sistem yang lebih global. Realitas leburnya ikatan-ikatan primordial dalam konteks ekonomi dan politik ke dalam satu sistem global tersebut telah menciptakan bentuk-bentuk hubungan baru yang lebih moderat dan terbuka. Hal ini memungkinkan terciptanya peluang kompetisi yang lebih berkualitas di pasar kerja yang lebih terbuka (Haris & Adika,2002: 9).

Pembahasan mengenai tenaga kerja di luar negeri berkaitan dengan pekerja migran  (migrant workers). Pekerja migran  (migrant workers) adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe yaitu : pekerja migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan  dengan urbanisasi, sedangkan pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi. Pekerja migran internasional (luar negeri) adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Di Indonesia, pengertian ini menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Jumlah penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri pada tahun 2011 mengalami penurunan drastis. Penurunan jumlah TKI ke luar negeri disebabkan pemberlakuan pengetatan pengiriman TKI serta pemberlakuan moratorium TKI di sektor domestic worker ke beberapa negara penempatan. Berdasarkan data yang ada di Kemenakertrans, penurunan jumlah penempatan TKI mencapai 279 ribu orang atau 32,44%. Tahun 2010 total penempatan TKI baik formal maupun informal sebanyak 860.086 orang sedangkan tahun 2011 jumlah penempatan hanya sebanyak 581.081 orang. Sementara rata-rata penempatan TKI yang bekerja di luar negeri dalam beberapa tahun belakangan ini mencapai 317.427 orang. Adapun rinciannya yakni kawasan Timur Tengah dan Afrika sebanyak 1.422.650 orang atau 54,68%, kawasan Asia-Pasifik sebanyak 1.178.830 orang (45,31%) dan sisanya Eropa, Australia dan Amerika sebanyak 110 orang atau 0,004%. (Basalamah, 2012). Karena persoalan TKI ini seringkali menyentuh pada buruh wanita yang menjadi pekerja kasar di luar negeri, TKI biasanya diidentikkan dengan Tenaga Kerja Wanita (TKW atau Nakerwan).

Globalisasi adalah proses menyatunya negara-negara di sentero dunia. Dalam globalisasi, perdagangan barang dan jasa, perpindahan modal, jaringan transportasi, serta pertukaran informasi dan kebudayaan bergerak secara bebas ke seluruh dunia seiring dengan meleburnya batas-batas negara. Globalisasi ternyata juga mendorong perpindahan tenaga kerja antar negara. Dewasa ini, penduduk dunia bergerak meninggalkan tanah airnya menuju negara lain yang menawarkan pekerjaan dengan upah yang lebih tinggi.

Menurut Elwin Tobing (2003), arus migrasi tenaga kerja ini diperkirakan akan terus meningkat tiap tahunnya sejalan dengan melonggarnya hambatan-hambatan resmi migrasi di negara-negara yang tergabung dalam World Trade Organization (WTO). Melonjaknya arus migrasi ini pada hakekatnya merupakan resultan dari perbedaan tingkat kemakmuran antara negara maju dan negara berkembang  (Demartoto, 2009:  31).

Pembangunan ekonomi yang tinggi di negara maju yang telah mendorong upah dan kondisi lingkungan kerja ke taraf yang lebih tinggi. Percepatan pembangunan ekonomi di negara maju kemudian meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja tidak terlatih “terpaksa” didatangkan dari negara berkembang. Pekerja dari negara-negara maju sendiri seringkali tidak tertarik dengan pekerjaan  yang menurut kategori mereka bergaji rendah.

Sementara itu, kesulitan ekonomi, sempitnya lapangan pekerjaan dan upah rendah di negara berkembang mendorong penduduk untuk mengadu nasib ke negara maju meskipun tanpa bekal (keahlian, persiapan, dan dokumen) yang memadai. Sebagian besar pekerja migran dari negara berkembang ini umumnya terdorong oleh upah yang lebih tinggi dibanding upah yang diterima di negara asal. Namun, sebagian dari pekerja migran ada yang termotivasi oleh alasan lain, seperti keagamaan (pergi haji, umroh) khususnya di Arab Saudi.

Faktor pendorong dan penarik di atas sebenarnya merupakan hukum ekonomi yang wajar jika prosesnya dilalui berdasarkan kriteria yang dibutuhkan. Persoalan menjadi lain manakala tenaga kerja dari negara pengirim bermigrasi secara ilegal dan/ atau tanpa keahlian serta persiapan yang diperlukan. Dalam konteks ini, munculah dua macam migrasi, yaitu yang legal (resmi) dan yang ilegal (gelap). Status gelap inilah yang kemudian menyebabkan pekerja migran sangat rentan mengalami permasalahan sosial-psikologis.

Dalam arus migrasi ini, terdapat fenomena lain yang disebut “feminisme migrasi”, yakni bahwa migrasi semakin di dominasi oleh anak gadis dan perempuan (Heyzer,2002). Ambruknya sistem ekonomi lokal menyebabkan banyak anak-anak gadis dan perempuan yang diekspos ke tempat-tempat kerja global guna mencari penghidupan. Menurut Heyzer (2002:2), situasi ini akan semakin menjadi-jadi di negara-negara yang mengalami krisis ekonomi parah serta negara-negara yang mengalami konflik dan perpecahan. Dalam konteks Indonesia, feminisme migrasi ini terjadi dalam bentuk pengiriman TKW besar-besaran antara lain ke Hongkong, Arab Saudi, Malaysia dan Singapura.

Terbukanya peluang pasar global telah menjadi salah satu aspek penting yang secara signifikan mempengaruhi besarnya volume pekerja migran (TKW), akan tetapi di sisi lain membawa implikasi-implikasi langsung terhadap masalah-masalah politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan soal perdagangan manusia (human trafficking).

 

  1. B.       Menjadi TKW di Luar Negeri (Antara Harapan Kesuksesan dan Terjebak dalam Perdagangan manusia)

Migrasi internasional ini tidak saja diartikan dalam konteks perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain pada waktu tertentu.  Menjadi tenaga kerja yang bekerja di luar negeri  bukan semata terkait persoalan migrasi internasional biasa saja. Migrasi internasional ini, khususnya yang dilakukan kaum perempuan yaitu tenaga kerja wanita (TKW) menjadi begitu menarik seakan tidak dapat terlepas motif tertentu  yang tidak jauh dari motif ekonomi, untuk memperoleh atau memperbaiki taraf hidup agar lebih layak. Bagaimanapun, kemiskinan yang menghantui kehidupan keluarga tidak dapat diabaikan  para perempuan tersebut begitu saja, yang akhirnya membuat mereka entah secara sukarela atau terpaksa mengambil tanggung jawab untuk mencari nafkah. Tindakan tersebut mereka lakukan agar dapat membuat kehidupan keluarganya terus bertahan “survive” ditengah himpitan kemiskinan. Tidak mengherankan jika pilihan mobilitas keluar merupakan suatu survival strategy yang harus dilakukan (Abdullah, 2003 :192). Oleh karena itu, persoalan stereotif konseptual migrasi  selalu dipandang sebagai sebuah respons rasional atas kemiskinan daerah asal, ditambah data-data empiris berbagai kajian yang telah dilakukan di negara-negara berkembang (Hugo, 1982, 1993, 1996; Mantra, dkk, 2001; Meier, 1995; Todaro, 1976, 1989;  Zlotnik, 1998  dan  Haris, 2003).

Tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak perempuan Indonesia termasuk mereka yang berasal dari berbagai pelosok desa memberanikan diri menjadi seorang TKW di luar negeri. Negara-negara yang  sering menjadi tujuan mereka antara lain: Malaysia, Arab Saudi, Hongkong dan Korea Selatan. Banyaknya peluang kerja bagi mereka di negara tersebut dengan imbalan gaji yang cukup tinggi merupakan faktor penarik bagi para calon TKW asal Indonesia ini. Selain itu, adanya kisah sukses para TKW yang “berhasil” bekerja di luar negeri dan akhirnya berhasil pula mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik yang seringkali ditunjukkan dengan membangun rumah yang lebih layak atau membangun usaha yang cukup besar makin menarik minat para perempuan menjadi migran internasional. Hal tersebut juga menjadi semacam jawaban atas mimpi dan harapan mereka untuk dapat bertahan hidup dan pada akhirnya dapat keluar dari kubangan kemiskinan yang selalu menghantui mereka.

Dibalik kisah sukses TKW yang bekerja di luar negeri terdapat banyak realita memperihatinkan para TKW yang tidak hanya “gagal” bekerja di luar negeri namun juga mengalami berbagai masalah. Masalah-masalah yang dihadapi mereka begitu beragam, mulai dari hasil kerja yang tidak dihargai dengan upah yang layak hingga tidak mendapatkan haknya sama sekali, mengalami perlakuan yang tidak sepantasnya yakni mengalami tindak kekerasan baik psikis maupun fisik, terpaksa melawan ketidakadilan dengan melanggar hukum hingga terperangkap dalam jebakan perdagangan manusia (human trafficking). Namun begitu, faktanya masih ada saja atau bahkan masih banyak para perempuan yang berminat menjadi TKW di luar negeri.

Sudah selayaknya perdagangan manusia (human trafficking) menjadi perhatian serius terkait masalah TKW di luar negeri. Karena  pada dasarnya begitu banyak praktik-praktik human trafficking yang selalu  dialami para TKW. Parahnya, lebih banyak dari mereka yang tidak tahu bahkan tidak menyadarinya. Perlu disadari pula bahwa human trafficking ini mencakup banyak kegiatan. Seperti PBB mendefinisikan  perdagangan manusia sebagai upaya perekrutan, pemindahan, penampungan serta penerimaan seseorang dengan menggunakan ancaman, kekerasaan atau dengan bentuk paksaan-paksaan lainnya. Bentuk pemaksaan tersebut dapat berupa penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, serta menerima dari atau memberi imbalan (bayaran) kepada orang yang memiliki wewenang atas orang lain untuk memperoleh manfaat dari orang tersebut untuk tujuan eksploitasi (Ibad, 2010, http://buruhmigran.or.id/2010/07/14/mengenal-istilah-perdagangan-manusia-trafficking/). Selain itu, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, bahwa perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi pembayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antara negara untuk tujuan eksplotasi atau mengakibatkan orang lain tereksploitasi (Ibad, 2011, http://buruhmigran.or.id/2011/05/02/tki-perempuan-perlu-waspadai-perdagangan-manusia/)

Dari berbagai definisi terkait perdagangan manusia dapat disimpulkan bahwa segala macam upaya menghilangkan kebebasan individu  atas dirinya sendiri dengan tujuan eksplotasi merupakan bagian praktik perdagangan manusia. (Global Alliance Against Traffic in Women, 2000). Terkait hal tersebut, perlakuan para majikan atau agen yang menempatkan TKW di luar negeri selama ini yang kerapkali melakukan eksploitasi terhadap para TKW merupakan praktik perdagangan manusia yang nyata. Hal tersebut diperkuat oleh Laporan dari Human Right Watch (HRW) 2004 (dalam Demartoto, 2009 : 4) menyebutkan:

“Banyak kasus kekerasan dan pelecehan terhadap TKW yang tidak pernah terungkap. Situasi ini menurut risiko eksploitasi dan pelanggaran yang dihadapi perempuan buruh migran di setiap tahapan siklus migrasi, mulai dari perekrutan, pelatihan, transit, di tempat kerja, dan ketika kembali ke Tanah Air. Sebagian buruh migran rumah tangga terjebak dalam praktek trafficking (Perdagangan manusia dan kerja paksa). Mereka di tipu. Kondisi dan jenis pekerjaannya tidak sesuai dengan yang ditawarkan sementara dokumen mereka ditahan oleh majikan atau pihak agen, bahkan ribuan TKW yang mayoritas pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia di Malaysia mendapatkan siksaan fisik sekaligus mental. Mereka  tidak mendapatkan  hak-hak manusia sebagai pekerja  serta tidak mendapatkan perlindungan. Ada TKW yang diperkosa, dihina, dipaksa bekerja 18 jam per hari. Tujuh hari seminggu  tetapi hanya mendapatkan upah  kurang dari Rp 2.250 per jam “

 

Selama ini, kekerasan yang menimpa para TKW di luar negeri yang telah banyak diekspos media baik cetak maupun elektronik adalah kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh para majikan seperti kasus kekerasan fisik Nirmala Bonat dan Ceriyati yang berusaha kabur dari siksaan majikannya dengan nekat menuruni apartemen belasan lantai dengan ikatan-ikatan kain saja. Sementara itu, eksploitasi dan praktik-praktik trafficking  yang paling nyata dan jarang diangkat adalah yang dilakukan oleh para agen. Salah satu contoh kasus adalah yang terangkum dalam buku dengan judul Ironi Pahlawan Devisa : Kisah Tenaga Kerja Indonesia Dalam Laporan Jurnalistik. FA (21), gadis asal Kalimantan Barat yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia yang menjadi korban kebiadaban agennya. Ia diperkosa oleh agennya sendiri Che Kui Nam (34) pada 10 Desember 1999. Selanjutnya ia juga dipaksa bekerja di karaoke tanpa gaji selama dua tahun  dengan dalih untuk membayar ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan Asman, agen Tenaga Kerja Wanita Indonesia (TKWI) asal Entikong Kalimantan Barat. Karena ia menolak maka mendapatkan kekerasan fisik yaitu dipukuli hingga berhasil melarikan diri dengan depresi yang dideritanya (Wawa, 2005: 3).

Kasus di atas adalah kasus lama yang telah terjadi 13 tahun lalu. Hal tersebut menunjukkan hal yang memprihatinkan karena ternyata praktik-praktik trafficking telah tumbuh subur sejak dulu dan hingga kini masih saja dapat ditemukan. Dibuktikan dengan masih ditemukannya praktik trafficking pada TKI dengan ditangkapnya otak sindikat perdagangan manusia, Idham Abu Bakar atau IAB,  yang mengaku telah mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia sebanyak sekitar 30 orang (http://megapolitan.kompas.com/ read/2012/07/18/16153811/Otak.Sindikat.Perdagangan.Manusia.Akui.Kirim.30.TKI.Ilegal), Ironis memang, praktik-praktik perdagangan manusia  terutama  pada TKW di luar negeri yang sejak dulu hingga kini belum benar-benar diberantas dan belum dipahami sebagai pelajaran berharga oleh berbagai pihak hingga muncul kasus-kasus dan korban-korban lainnya lagi.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik sebuah fakta penting bahwa para TKW di luar negeri menghadapi masalah yang kompleks dan salah satunya adalah perdagangan manusia. Dalam hal ini, rasanya bukan merupakan suatu kebetulan jika dalam hal ini TKW yang notabene mayoritas TKI yang banyak bekerja di luar negeri daripada kaum laki-laki yang menjadi sasaran utama perdagangan manusia. Terlepas dari apapun motif para pelaku trafficking ini menyasar para TKW, terkandung suatu pesan lain yang penting adanya kejadian tersebut. Hal tersebut sekaligus menjadi cerminan bahwa perdagangan manusia (human trafficking) di sisi lain memberi andil dalam memperburuk kondisi perempuan yang menjadi lekat akan kemiskinan. Bagaimanapun, realitas tersebut makin menguatkan jika kemiskinan yang dialami perempuan baik secara ekonomi dan politik kian terbukti nyata karena perempuan sungguh mengalami kerentanan hidup (vulnerability).

 

  1. C.           Memperbaiki Keadaan : Kepedulian terhadap Kepentingan TKW dan Upaya Memerangi Perdagangan Manusia

Uraian di atas cukup memberikan alasan untuk segera melakukan  tindakan dalam rangka memberikan kepedulian terhadap nasib tragis perempuan khususnya TKW dalam usahanya keluar dari kemiskinan. Dalam hal ini para TKW tidak hanya bergulat dengan masalah seputar kekerasan atau pengeksploitasian “biasa”, namun juga begitu rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi tersebut telah terbungkus dalam suatu kejahatan dahsyat seperti perdagangan manusia (human trafficking). Oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait dalam hal ini Pemerintah melalui Kemenakertrans memiliki tanggung jawab besar untuk mewujudkan proses perekrutan, pengiriman, penempatan hingga pemulangan tidak tersusupi praktik-praktik perdagangan manusia (human trafficking). Setidaknya dalam berbagai proses tersebut memperhatikan dan memenuhi kebutuhan praktis dan strategis gender, yang dalam hal ini perempuan.

Kerangka Moser membedakan kebutuhan perempuan menjadi dua jenis kebutuhan (yang mengadopsi gagasan Molyneux tentang kepentingan perempuan) yaitu kebutuhan praktis dan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan-kebutuhan perempuan agar dapat menjalankan peran-peran sosial yang diperankan oleh mereka untuk merespons kebutuhan jangka pendek, seperti perbaikan taraf kehidupan. Sedangkan kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan perempuan yang berkaitan dengan perubahan subordinasi perempuan terhadap laki-laki seperti pembagian kerja, kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya, termasuk didalamnya adalah penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan (Juklak Inpres No. 9 Tahun 2000).

Berikut adalah berbagai wujud kebutuhan praktis dan strategis  yang selayaknya dipenuhi  terutama oleh Pemerintah demi mewujudkan kepedulian nyata terhadap TKW yang telah menyumbang banyak devisa bagi Indonesia. Kebutuhan praktis TKW di luar negeri yang harus dipenuhi antara lain :

  1. Pelatihan kerja, dengan tersedianya : pembelajaran materi keterampilan, sarana pelatihan kerja, praktek keterampilan kerja, pengakuan standar kualitas tenaga kerja, dan pendidikan bahasa asing.
  2.  Mendapat upah/gaji saat bekerja.
  3.  Peningkatan keterampilan kerja.
  4.  Pengajaran etika dan perilaku serta penampilan tenaga kerja.
  5. Kebutuhan yang ada kaitannya dengan pembekalan tenaga kerja  lainnya.
  6. Test kesehatan dan keterampilan.

Sementara itu, kebutuhan strategis para TKW di luar negeri yang harus terpenuhi, antara lain :

  1. Pelatihan kerja : pengetahuan ketenagakerjaan (termasuk memberikan pengetahuan secara mendalam dan penyadaran  mengenai ancaman perdagangan manusia (human trafficking).
  2. Hak penuh dalam perjanjian kerja.
  3. Terlindungi secara hukum hak-hak tenaga kerja perempuan dan mendapatkan jaminan keselamatan kerja secara penuh.
  4. Menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita.
  5. Menentang ketidakadilan terhadap tenaga kerja perempuan, baik oleh majikan, agen, biro jasa ataupun pemerintah.
  6. Penanganan dan penyelesaian masalah hak-hak tenaga kerja perempuan yang serius oleh pemerintah ataupun biro jasa.
  7. Organisasi kumpulan.

Namun begitu, harus pula disadari pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis pada TKW di luar negeri tersebut masih belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hal itu disebabkan belum ada kebijakan atau Undang-Undang yang secara khusus mengatur hak-hak tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri pada sektor rumah tangga seperti perlindungan hukum, penyelesaian masalah ketenagakerjaan meskipun mereka sudah mendapatkan jaminan kerja. Oleh karena itu dibutuhkan perumusan kembali tujuan pelaksanaan penempatan tenaga kerja wanita ke luar negeri agar menjadi tujuan kebijakan ketenagakerjaan yang responsif gender dalam penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Adapun model penempatan tenaga kerja wanita ke luar negeri yang diusulkan adalah sebagai berikut :

  1. Adanya pembenahan sistem pengelolaan penempatan TKW ke luar negeri yang meliputi kebijakan dan aturan pelaksanaan, kelembagaan dan sistem pengawasan dalam setiap proses yang dilalui.
  2. Pada tahap pra-penempatan perlu pembenahan sistem rekruitmen dengan meresmikan peran sponsor dan legalitas biro jasa pengirim sehingga dapat mengurangi kerawanan penipuan terhadap TKW.
  3. Pada tahap pra-pemberangkatan diperlukan sistem pelatihan kerja yang profesional dengan mengembangkan Balai Latihan Kerja (BLK) standar sesuai dengan kebutuhan para pengguna (calon tenaga kerja). BLK standar perlu dikelola secara independen dengan melibatkan pihak-pihak yang berkait. BLK standar meliputi pengembangan kurikulum training, sarana dan prasarana training serta fasilitas-fasilitas lain.
  4. Kegiatan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) sebagai tahap akhir dari proses pra-penempatan perlu dikaji ulang keberadaannya, dengan prinsip tetap mempertahankan substansi program, namun akan lebih efektif apabila kegiatan tersebut digabung menjadi satu dengan BLK standar.

Kebijakan ketenagakerjaan yang responsif gender menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak dapat ditunda lagi. Namun demikian, apapun kebijakan yang diambil pemerintah berkaitan dengan tenaga kerja internasional tidak akan banyak memberikan kontribusi positif tanpa dilandasi perangkat aturan yang memadai. Hal ini mengingat esensi kebijakan ketenagakerjaan itu sendiri ada pada aturan yang secara tegas memenuhi hak-hak tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan tanpa berat sebelah, memberi perlindungan menyeluruh kepada tenaga kerja atau buruh migran Indonesia khususnya. Tanpa kehadiran aturan legal tersebut apapun yang dilakukan pemerintah dalam konteks tenaga kerja internasional akan selalu diikuti celah kejahatan terstruktur yang dilakukan di dalam kerangka  alasan yang sama dengan aturan itu sendiri.

 

 

 

PENUTUP

Bahasan di atas memberikan pemahaman tentang persoalan pekerja perempuan khususnya TKW yang bekerja di luar negeri.  Mereka menanggung beban berat, dengan ikut memikul tanggung jawab rumah tangga demi sekedar bertahan hidup dalam himpitan kemiskinan. Pada akhirnya, mereka dengan diskriminasi dan keterbatasan yang mereka miliki mencoba mencari peluang kerja yang masih terbuka lebar seperti menjadi TKW di luar negeri. Namun sayangnya pilihan tersebut mengantarkan mereka pada risiko yang lebih besar, terutama pada perangkap perdagangan manusia (human trafficking) yang begitu berkembang.  Meskipun secara konsep pemberangkatan TKW ke luar negeri berbeda dengan  human trafficking namun pada praktiknya apa yang dialami para TKW di luar negeri merupakan bagian dari berbagai praktik human trafficking itu sendiri. Dengan demikian, semua pihak harus segera bertindak menangani permasalahan ini agar TKW yang memiliki jasa besar di negeri ini sebagai penyumbang devisa tidak lagi tersiksa. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakan ketenagakerjaan yang benar-benar responsif gender (memenuhi kebutuhan praktis dan strategis gender) dan dengan dukungan aturan hukum yang tegas. Dengan berpijak pada kebijakan ketenagakerjaan yang responsif gender dan diperkuat dukungan hukum juga berarti usaha menjauhkan TKW dari praktik-praktik perdagangan manusia. Karena  aturan hukum ketenagakerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan praktis dan strategis gender bila dapat diterapkan secara konsisten merupakan bagian perlawanan terhadap perdagangan manusia  (human trafficking).

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Irwan, ed. 2003. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

 

Amin, Samir. 1997. Capitalism in the Age of Globalization. London: Zed Books.

 

Basalamah, Rusjdi. 2012. Peranan PPTKIS Dalam Rangka Penempatan dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri. Dalam Seminar: REVISI UU NO. 39/2004 yang diselenggarakan oleh Kadin Indonesia. Jakarta.

 

Cahyono, Imam. 2005. Wajah Kemiskinan, Wajah Perempuan Dalam Jurnal Perempuan : untuk Pencerahan dan Kesetaraan. No.42. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

 

Demartoto, Argyo. 2009. Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender (Menyoal TKW Indonesia yang akan Dikirim ke Luar Negeri). Surakarta : Sebelas Maret University Press.

 

Global Alliance Against Traffic in Women. 2000. Hak Asasi Manusia Dalam Pelaksanaan: Panduan Untuk Membantu Perempuan dan Anak-Anak yang Diperdagangkan. Thailand: Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW).

 

Haris, Abdul dan Adika, Nyoman. 2002. Gelombang Migrasi dan Konflik Kepentingan Regional : Dari  Perbudakan ke Perdagangan Manusia. Yogyakarta : LESFI.

 

Haris , Abdul. 2003. Kucuran Keringat dan Derap Pembangunan (Jejak Migran Dalam Pembangunan Daerah). Yogyakarta  :  Pustaka Pelajar

 

Heyzer, Noeleen. 2002. “Trafficking, Migrasi, dan Globalisasi,” dalam Radio Nederland Wereldomroep, edisi 6 Desember.

 

Hugo, Graeme J. 1982. “Source of International in Indonesia: Their Potential and Limitation” dalam majalah Demografi Indonesia. Jakarta, no. 7.

 

______________. 1993. “Indonesia Labour Migration to Malaysia: Trends and Policy Implication” dalam South-Asian Journal of Social Science, vol 21 no. 1.

 

______________. 1996. Economic Impacts of International Labor Emmigration on Regional and Local Development : Some Evidence From Indonesia. Paper at Annual Meeting of Population Association of America, New Orleans.

Ibad, Muhammad Irsyadul. 2010. Mengenal Istilah Perdagangan Manusia (Trafficking). http://buruhmigran.or.id/2010/07/14/mengenal-istilah-perdagangan-manusia-trafficking/

Ibad, Muhammad Irsyadul. 2011. TKI Perempuan Perlu Waspadai Perdagangan Manusia. http://buruhmigran.or.id/2011/05/02/tki-perempuan-perlu-waspadai-perdagangan-manusia/

 

Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.  

 

Mantra, Ida Bagoes, Kasto dan Abdul Haris. 2001. Mobilitas Pekerja Perempuan Indonesia ke Arab Saudi : Masalah Kekerasan dan Perlindungan Hukum (Kasus di Kabupaten Cilacap). Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, Direktorat Pembinaan dan Pengabdian pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. Tidak diterbitkan.

 

Meier, Gerald M. 1995. Leading Issues in Economic Development. New York, Oxford : Oxford University Press.

 

Sobrino, Jon. 1993. A Historical Theological View. New York: Orbis Books.

 

Suyanto, Bagong (ed). 1995. Perangkap Kemiskinan : Problem dan Strateginya. Surabaya : Airlangga University Press.

 

Tobing, Elwin. 2003. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik. Jakarta : Media Indonesia.

 

Todaro, Michael P. 1976. Migration in Developing Countries. Geneva : ILO.

 

______________. 1989. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (edisi Ind.) Jakarta : Erlangga.

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 

Wawa, Jannes Eudes. 2005. Ironi Pahlawan Devisa : Kisah Tenaga Kerja Indonesia dalam Laporan Jurnalistik. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

 

Zlotnik, Hania. 1998. “International Migration 1965 – 1996 : An Overview” dalam Population and Development Review, vol. 24 no. 3 (429 – 468).

 

http://megapolitan.kompas.com/read/2012/07/18/16153811/Otak.Sindikat. Perdagangan. Manusia.Akui.Kirim.30.TKI.Ilegal